Pelemahan Rupiah dan Inkonsistensi Kebijakan Energi

Penulis: Hardy R Hermawan (Mahasiswa Program Doktor Perbanas Institute)

Selama tiga bulan terakhir, kurs rupiah terus melemah di hadapan dolar Amerika Serikat (USD). Pada akhir September 2024, rupiah masih berada di posisi Rp 15.101/USD.  Setelah itu, 28 November 2024, nilai rupiah oleng ke level Rp 15.875/USD.

Jika ditengok lebih jauh ke belakang, pelemahan rupiah sudah terjadi secara perlahan selama bertahun-tahun. Di awal Oktober 2019, rupiah masih berada pada posisi Rp14.125/US$.

Tren pelemahan yang terjadi begitu lama mencerminkan tantangan pada fundamental ekonomi Indonesia. Defisit neraca pembayaran (Balance of Payments, BOP) menjadi indikasi adanya tekanan ini.

Solnik (2000) menyatakan, BOP adalah variabel kunci dalam memodelkan nilai tukar karena secara langsung terkait dengan arus perdagangan dan investasi. BOP meliputi neraca transaksi berjalan plus neraca transaksi modal dan finansial. Kalau ditelusuri, BOP Indonesia terus defisit karena kontribusi dari defisit perdagangan migas.

Bahkan, ketika neraca perdagangan terus mencatatkan surplus selama 53 bulan berturut-turut, sejak Mei 2020, defisit migas kita sangatlah besar.

Pada 2022, defisit migas mencapai USD 24,4 miliar. Setahun kemudian, di 2023, deficit migas tercatat USD 19,91 miliar. Lantas, sepanjang Januari hingga September 2024, defisit migas sudah berada di level USD 15,05 miliar. Angka–angka itu menunjukkan, betapa kebutuhan devisa impor migas sudah mencapai 15-20% cadangan devisa nasional.

Ketergantungan Indonesia pada migas impor jelas membuat BOP selalu dalam posisi rentan. Situasi akan kian memburuk jika defisit migas tidak ditangani secara sistematis. Saat ini, impor minyak sudah mencapai 1 juta barel per hari. Tiap hari, Indonesia merogoh USD 100 Juta untuk impor minyak dan BBM. Menurut Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), defisit minyak pada tahun 2030 akan mencapai 679 juta barel, sementara defisit gas LPG mencapai 2 juta BBTU.

Jadi, dalam beberapa tahun ke depan, rupiah akan selalu dalam kemelut. Fluktuasi rupiah ini tentu berdampak pada inflasi, investasi, dan konsumsi, yang semuanya berkontribusi pada volatilitas ekonomi secara keseluruhan.

Maka, tidak bisa tidak, diversifikasi energi menjadi strategi utama untuk mengatasi tantangan ini. Indonesia memiliki potensi besar dalam gas alam, dengan cadangan lebih dari 42 triliun kaki kubik yang tersebar di wilayah Maluku, Papua, dan Sumatera Selatan. Pemanfaatan gas alam tidak hanya membantu mengurangi ketergantugan pada migas impor melainkan juga dapat memangkas emisi karbon.

Selain itu, gas alam menawarkan harga yang lebih kompetitif dibandingkan BBM seperti Pertalite atau Biosolar. Saat ini, harga BBG sekitar Rp 4.500 per liter ekuivalen. Ini jauh lebih murah daripada Pertalite yang Rp 10.000 per liter (dengan “subsidi” berapa penugasan) dan Biosolar yang dibanderol Rp 6.800 per liter (dengan subsidi).

Namun, upaya konversi energi dari bahan bakar minyak (BBM) ke gas alam belum dijalankan secara optimal. Infrastruktur seperti stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG) berkembang sangat lambat. Pada 2014, Kementerian ESDM mencatat sudah ada 28 SPBG di seluruh Indonesia. Angka itu diharapkan bertambah menjadi 60 unit pada 2015. Lalu, pada tahun 2019, pemerintah menargetkan jumlah SPBG mencapai 280 unit dan akan ditingkatkan lagi menjadi 800 unit pada 2025 lalu 1.300 unit pada tahun 2030. Nyatanya?  Sampai menjelang akhir 2024,  jumlah SPBG baru sekitar 40 unit.

Ketidakonsistenan kebijakan energi semakin terlihat dengan pergeseran fokus pemerintah ke kendaraan listrik. Meskipun elektrifikasi transportasi merupakan langkah maju dalam mengurangi emisi karbon, biaya tinggi untuk infrastruktur dan ketidakmerataan jaringan listrik di luar Jawa menjadi tantangan besar. Konversi kendaraan BBM ke BBG sebenarnya lebih hemat biaya dan berdampak langsung pada pengurangan impor energi fosil, tetapi inisiatif ini tidak mendapatkan prioritas.

Inkonsistensi juga tampak dalam pembangunan jaringan gas rumah tangga (jargas). Awalnya, pemerintah mau membangun 4 juta sambungan jargas hingga akhir 2024. Lantas, target itu direvisi menjadi hanya 2,5 juta sambungan jargas. Itupun masih jauh panggang dari api. Realisasi hingga akhir 2023 baru tercapai 835 ribu sambungan jaringan gas rumah tangga.

Padahal, pengalihan konsumsi LPG ke gas alam untuk rumah tangga dapat mengurangi tekanan pada neraca migas secara signifikan. Konsumsi gas alam juga bisa mengurangi beban pengeluaran rumah tangga. Maklum, harga jual gas alam sekitar Rp4.250 per meter kubik. Padahal, harga pasar gas LPG 3 kg, yang sudah mendapat subsidi, berkisar antara Rp5.013 hingga Rp6.266 per meter kubik.

Dalam jangka panjang, ketergantungan pada impor energi fosil tidak hanya membebani BOP tetapi juga meningkatkan risiko terhadap fluktuasi harga global. Di sisi lain, konsistensi dalam diversifikasi energi ke gas alam dapat menciptakan stabilitas ekonomi yang berkelanjutan.

Studi oleh Forbes (2018) menegaskan bahwa dinamika nilai tukar sangat dipengaruhi oleh kebijakan domestik dan ekspektasi pasar. Dengan begitu, keberhasilan diversifikasi energi bisa memperkuat kepercayaan pasar terhadap stabilitas ekonomi Indonesia.

Kegagalan pemerintah untuk menjalankan program konversi energi dengan serius mencerminkan kurangnya prioritas terhadap pembangunan infrastruktur energi strategis. Padahal, jika pemerintah mau, rakyat sebagai konsumen tidak punya pilihan lain selain mengikuti. Keberhasilan program konversi minyak tanah ke LPG melon pada era SBY-JK, dihilangkannya BBM jenis Premium,  dan dirilisnya Biosolar, menjadi bukti bahwa konversi semacam itu dapat dilakukan jika pemerintah punya niat jelas.

Pemerintah perlu menyadari upaya meninggalkan minyak dan BBM impor serta turunannya harus segera dijalankan. Rakhmanto (2023) menegaskan, transisi energi perlu didukung kebijakan fiskal yang kuat untuk mendukung infrastruktur dan operasional perusahaan gas. Pemerintah perlu mempercepat pengembangan fasilitas LNG untuk menutupi defisit gas di wilayah barat Indonesia. Kembangkan benar pembangunan SPBG dan jargas, terutama di wilayah-wilayah yang memiliki cadangan gas besar.

Kerja sama dengan sektor swasta dan pemberian insentif fiskal dapat mendorong percepatan ini. Perkuat regulasi yang mendukung penggunaan gas alam, termasuk insentif untuk kendaraan berbasis BBG dan subsidi konventer kendaraan.

Fokuskan pada langkah-langkah tegas dan konsisten untuk mengatasi defisit migas, mengurangi ketergantungan pada impor energi fosil, dan memanfaatkan potensi energi domestik yang melimpah.

Jika tidak, pelemahan rupiah akan terus terjadi dan melemahkan fundamental ekonomi nasional sehingga membawa risiko stabilitas nasional. Tanpa langkah tegas dan konsisten, Indonesia dapat kehilangan peluang memperkuat fundamental ekonominya dan mencapai kemandirian energi.

Kebijakan jangka pendek yang lebih pragmatis juga diperlukan untuk mengurangi tekanan pada nilai tukar rupiah. Langkah seperti pemberian insentif fiskal untuk energi lokal, pengembangan teknologi hemat energi, serta diplomasi energi untuk mendapatkan harga impor yang lebih kompetitif dapat menjadi solusi efektif. Dengan kombinasi strategi jangka pendek dan panjang, ketahanan ekonomi terhadap dampak pelemahan rupiah dapat diperbaiki.

Artikel ini juga tayang di: