Dahulukan UU Badan Hukum Perguruan

Jakarta, Kompas – Pemerintah diminta tidak terburu-buru menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Perguruan Tinggi (PT), sebelum lahir Undang-Undang tentang Badan Hukum Perguruan (BHP). Jika PP tentang PT dipaksakan terbit mendahului UU tentang BHP, dikhawatirkan muncul berbagai kerancuan mendasar dalam hubungan badan pengelola perguruan tinggi swasta (PTS) dengan rektorat PTS bersangkutan.

Lebih parah lagi, negara berpeluang ikut mencampuri pengelolaan PTS tanpa memperhatikan perbedaan mendasar dari bentuk dan sejarah lembaga pengelolanya.

Demikian salah satu topik bahasan dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (BP-PTSI) di Jakarta, Senin (28/6).

Rakernas tersebut dihadiri sekitar 60 unsur pimpinan dan pengurus Asosiasi BP-PTSI dari berbagai wilayah di Tanah Air. Di seluruh Indonesia, tercatat sekitar 250 badan penyelanggara PTS, dengan nama, bentuk, dan ciri yang beragam, seperti yayasan, badan wakaf, dan perguruan.

Ketua Umum BP PTSI Thomas Suyatno yang dihubungi di sela-sela rakernas, mengatakan, sangat tidak proporsional jika pemerintah terburu-buru menggodok Rancangan Peraturan Pemerintah tentang PT, sementara UU tentang Badan Hukum Perguruan (BHP) sendiri belum lahir.

Menurut Thomas, secara teknis, draf RPP PT yang disiapkan pemerintah saat ini memang sudah banyak mengakui dan mengarahkan PTS nantinya menjadi sebuah badan hukum. Namun, aturan teknis tersebut nantinya bakal menimbulkan kerancuan jika prinsip-prinsip tentang badan hukum itu sendiri belum jelas.

“Karena itu, sebaiknya definisi tentang BHP itu sendiri dibuat dulu melalui Undang-Undang. Kalau UU BHP diibaratkan sebagai ibu, maka maka ia harus lahir terlebih dulu sebelum kemudian lahir anaknya berupa PP tentang PT,” kata Thomas Suyatno.

Lagi pula, menurut Thomas, konsep badan hukum perguruan (BHP) yang hendak dituju sesungguhnya telah eksis di perguruan swasta sesuai dengan misi dan latar belakangnya masing-masing.

“Badan hukum di PTS, tidak lain adalah yayasan, badan wakaf, atau badan perguruan itu sendiri,” katanya menegaskan.

Thomas mengingatkan, meskipun sama-sama bertujuan mencerdaskan bangsa, setiap BP punya perbedaan dari segi latar belakang pendirian dan praktiknya.

Keberagaman yang dimaksud antara lain karena perbedaan corak mencakup, ciri keagamaan, kebangsaan, nasionalis, dan misionaris.

Sudah terakomodasi
Pada bagian lain, Thomas menyampaikan penghargaan kepada tim perumus RPP, karena draf RPP per April 2004 sudah banyak mengalami kemajuan dibanding beberapa bulan sebelumnya.

Eksitensi dan hubungan antara yayasan dan PTS yang sebelumnya tidak terakomodasi secara harmonis, kini sudah tercakup dalam draf RPP tersebut.

“Kemajuan lainnya, sudah ada upaya memperkecil ruang konflik antara badan penyeleggara dengan pimpinan PTS bersangkutan. Caranya, dibentuk lembaga independen atau nantinya disebut Lembaga Umum,” kata Thomas.

Agak mirip dengan Majelis Wali amanat (MWA) di perguruan tinggi negeri yang berstatus Badan Hukum Milik Negara (BHMN), Lembaga Umum itu kelak terdiri dari unsur perwakilan badan penyelenggara (BP), pimpinan PTS, dosen, dan masyarakat.

Bila mana terjadi konflik antara BP dengan pimpinan PTS, maka pimpinan PTS tidak berhak tampil mengatasnakan kepentingan PTS tanpa ditunjuk oleh Lembaga Umum.

“Singkatnya, draf RPP PT sekarang telah mengakomodasi fungsi dan kewenangan BP, serta mengatur hubungan antara BP dan PTS, masyarakat, dan pemerintah,” ujarnya.

UU Yayasan
Ia juga memaparkan, berkat dialog intensif antara Asosiasi BP PTSI dan pemerintah selama ini, Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-Undangan Depertemen Kehakiman telah membuka peluang untuk menyusun RUU tentang Perubahan UU Nomor 16/2001 tentang Yayasan.

“Nantinya, UU tersebut tidak lagi memandang semua yayasan dalam kaca mata yang sama. Sudah mulai dibedakan, mana yayasan yang berorientasi profit, dan mana yang murni berorientasi sosial. Yayasan yang bergerak di bidang sosial pendidikan akan diberi sejumlah kemudahan. Barangkali yang menonjol adalah tidak lagi dibebani kewajiban membayar pajak sebesar yang berlaku selama ini,” paparnya.

Menurut Thomas, dialog tersebut terus dijalin sejak dibentuknya Asosiasi BP PTSI akhir tahun 2003 lalu. (NAR)

Sumber : Kompas-29 Juni 2004
Updated by : PSPTI’