Sawit dalam Dilema Keberlanjutan

Penulis: Andi Setyo Pambudi (Mahasiswa Doktoral Perbanas Institute)

Presiden Prabowo Subianto dengan tegas menyatakan, kita tidak perlu takut dengan isu deforestasi. Pernyataan itu disampaikan Presiden dalam Musrenbangnas RPJMN 2025-2029 di Kantor Kementerian PPN/Bappenas, sebelum memasuki tahun 2025. Selanjutnya, Presiden menegaskan, Indonesia perlu menambah lagi penanaman kelapa sawit.

Terang saja, pernyataan Presiden ini menimbulkan perdebatan. Bukan apa-apa, isu deforestasi jelas isu global yang sangat penting. Deforestasi tidak hanya merusak ekosistem tetapi juga mengancam daya dukung lingkungan yang esensial bagi keberlanjutan pembangunan. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2023 menunjukkan bahwa konversi hutan untuk sawit menyumbang hilangnya 684.000 hektar hutan setiap tahun.

Lantas, kenapa presiden menyatakan tidak perlu takut deforestasi? Sebenarnya, jelas, presiden hanya ingin menegaskan bahwa upaya pengembangan industri sawit harus mengikuti semua regulasi sehingga penyelenggaraan dan tata kelola industri tersebut tetap memperhatikan aspek lingkungan. Dengan begitu, industri ini tidak dianggap melakukan deforestasi.

Selama ini, industri sawit memang menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia yang mampu menyumbang devisa negara USD36,2 miliar, pada 2023.  Hingga September 2024, ekspor minyak sawit mentah saja sudah menyumbang devisa USD14,43 miliar. Pangsa industri sawit terhadap output nasional mencapai 3,1 persen.

Tak kurang dari 17 juta pekerja terserap di industri yang sangat diandalkan untuk mendukung hilirisasi nasional ini. Belum lagi kontribusinya dalam mendukung kedaulatan energi Indonesia. Bagi perekonomian daerah, industri sawit sangat berperan meningkatkan PAD dan sukses mendorong pembangunan daerah, terutama di perdesaan.

Namun, dampak lingkungan dari perluasan sawit yang serampangan tak bisa diabaikan. Isu daya dukung lingkungan menjadi sorotan utama. Indonesia, dengan kekayaan hutan tropis terbesar ketiga di dunia, kini dihadapkan pada dilema besar: ekspansi ekonomi atau konservasi alam. Ahmad Maryudi, Guru Besar Universitas Gadjah Mada menegaskan, pembukaan hutan untuk sawit sering kali dilakukan tanpa mempertimbangkan regenerasi ekosistem.

Akibatnya, lahan yang terdegradasi kehilangan produktivitasnya, memerlukan biaya besar untuk pemulihan, dan memperburuk krisis ekologi. Untuk itu, pendekatan agroforestri berbasis sawit, yang mempertahankan tutupan pohon sambil memaksimalkan hasil perkebunan, harus dijadikan solusi.

Selain itu, pengembangan sawit yang tidak ramah lingkungan juga menjadi penyumbang besar emisi gas rumah kaca (GRK). WRI Indonesia melaporkan bahwa konversi hutan untuk sawit menghasilkan emisi karbon setara 1,8 gigaton CO2 setiap tahunnya. Ini menjadi pukulan besar bagi komitmen Indonesia dalam Paris Agreement untuk menurunkan emisi sebesar 29 persen pada 2030. Arif Budiman, pakar dari IPB University, menekankan perlunya adopsi teknologi rendah emisi, seperti pemanenan mekanis dan pemanfaatan biomassa. Langkah ini tidak hanya mengurangi jejak karbon tetapi juga meningkatkan efisiensi produksi dan daya saing sawit Indonesia di pasar global.

Masalahnya, ada tantangan besar berupa lemahnya penegakan hukum dan pengawasan terhadap aktivitas ilegal di sektor sawit. Laporan Greenpeace Indonesia pada 2023 mencatat masih banyak pembukaan lahan tanpa izin yang terjadi di kawasan konservasi. Di sisi lain, konflik antara perusahaan dan masyarakat adat menjadi masalah yang tak kunjung usai.

Organisasi AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) mengungkapkan bahwa hingga 2023 terdapat lebih dari 800 sengketa lahan yang melibatkan masyarakat adat dan perusahaan sawit. Pendekatan partisipatif dalam pengelolaan perkebunan, yang melibatkan masyarakat lokal sejak tahap awal, menjadi kunci untuk mengatasi konflik ini sekaligus memperkuat aspek sosial dalam keberlanjutan.

Belajar dari Jiran

Langkah konkret lainnya adalah optimalisasi sertifikasi keberlanjutan seperti ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) dan RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil). Skema ini dapat menjadi alat penting untuk memastikan bahwa produksi sawit Indonesia memenuhi standar keberlanjutan.

Edukasi bagi petani kecil juga harus menjadi prioritas, karena mereka sering kali menjadi pelaku utama dalam pembukaan lahan baru akibat kurangnya pemahaman tentang praktik pertanian berkelanjutan. Program pendampingan, seperti yang dilakukan oleh Yayasan Kehati, telah menunjukkan bahwa petani kecil dapat meningkatkan produktivitas tanpa harus merambah hutan baru.

Teknologi juga menawarkan harapan besar untuk pengelolaan sawit berkelanjutan. Pemanfaatan teknologi satelit untuk memantau deforestasi secara real-time, misalnya, dapat membantu pemerintah dan pemangku kepentingan dalam mengawasi aktivitas ilegal. Di sisi lain, penelitian terkait pengembangan varietas sawit unggul yang lebih produktif dan tahan iklim harus terus didorong. Dengan varietas ini, kebutuhan lahan dapat ditekan tanpa mengorbankan produktivitas.

Satu hal lagi, keberlanjutan tidak hanya tanggung jawab pemerintah atau pelaku industri. Masyarakat juga memegang peranan penting. Konsumen dapat berkontribusi dengan memilih produk sawit bersertifikasi keberlanjutan. Kampanye publik yang mengedukasi konsumen tentang pentingnya keberlanjutan dalam rantai pasok sawit perlu digencarkan. Dengan meningkatnya permintaan terhadap produk berkelanjutan, pelaku industri akan terdorong untuk lebih bertanggung jawab.

Contoh sukses pengelolaan sawit berkelanjutan tampak di negeri seberang. Sime Darby Plantation di Malaysia telah menerapkan kebijakan dengan komitmen keberlanjutan yang ketat, termasuk penggunaan satelit untuk memantau aktivitas lahan. Selain itu, Sime Darby aktif berpartisipasi dalam inisiatif RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) untuk memastikan seluruh proses produksinya memenuhi standar global.

Upaya ini membuahkan hasil. Perusahaan negeri jiran itu berhasil menurunkan emisi karbon 15 persen dalam lima tahun terakhir dan meningkatkan efisiensi produksi hingga 20 persen. Sime Darby juga fokus pada edukasi masyarakat melalui kampanye “Love My Palm Oil” yang bertujuan meningkatkan kesadaran konsumen tentang pentingnya memilih produk sawit berkelanjutan. Langkah ini membuktikan bahwa upaya edukasi yang tepat dapat mendorong partisipasi masyarakat dalam menjaga keberlanjutan sektor sawit.

Model keberhasilan ini menunjukkan bahwa keberlanjutan tidak hanya menguntungkan lingkungan dan meningkatkan kualitas konsumen, tetapi juga meningkatkan profitabilitas dan daya saing di pasar internasional. Dengan menyeimbangkan kebutuhan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan, industri sawit dapat menjadi motor pembangunan tanpa merusak ekosistem.

Pemerintah Indonesia dapat menargetkan pengurangan deforestasi dan emisi dalam lima tahun ke depan, sesuai komitmen Paris Agreement. Di sisi lain, pelaku industri harus memastikan bahwa seluruh proses produksi sawitnya sudah memenuhi standar keberlanjutan pada akhir dekade ini. Partisipasi aktif masyarakat dalam memilih produk ramah lingkungan dan menjaga keseimbangan ekologi dapat memberikan dampak yang signifikan mulai saat ini.

Pengembangan sawit memang berada dalam pusaran dilemma. Tapi, dengan komitmen bersama, industri ini dapat terus menjadi motor pembangunan tanpa merusak ekosistem. Keberlanjutan bukan hanya tujuan akhir, tetapi juga langkah konkret yang harus segera diambil demi masa depan yang lebih baik. Pemerintah juga harus bergegas mempercepat program pemutihan lahan sawit ilegal di kawasan hutan. Jika ini sudah dilakukan konsisten dan terukur, maka benar kata Presiden: penyelenggaraan usaha sawit bisa selalu beriringan dengan konservasi alam sehingga tidak perlu takut lagi dengan isu deforestasi!