Mobil Listrik di Simpang Keberlanjutan
Tulisan Populer 5 Februari 2025 Ananda Febriana Syafitri Read Time 5 minutes
Oleh: Isti Yuli Ismawati
Praktisi Industri Multifinance | Mahasiswa Doktoral Perbanas Institute
Pasar mobil listrik di Indonesia terlihat seperti kian menggiurkan. Tengok saja, lima pabrikan otomotif terkemuka Eropa, yakni Citroen, Renault, Fiat, VW, dan Skoda bakal segera menggelindingkan skuad andalan masing-masing di Indonesia, di semester pertama 2025 ini. Tapi, pelaku usaha multifinance seperti dihadapkan pada dilema besar dalam bisnis pembiayaan mobil listrik.
Padahal, sejak awal Januari 2025, pemerintah telah memperpanjang insentif Pajak Penjualan atas Barang Mewah Ditanggung Pemerintah (PPNBM DTP) hingga 100%. Itu tentu memberi harapan besar bagi industri otomotif dan multifinance. Mobil listrik dengan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) 40% mendapatkan PPN DTP 10% dan mobil listrik rakitan dalam negeri mendapatkan pengurangan PPnBM 100%. Mobil hybrid rakitan local juga mendapat PPnBM DTP 3%. Mestinya, semua insentif tadi bisa menjadi angin segar yang menyenangkan
Namun, kendati berbagai insentif diberikan, daya beli masyarakat justru mengalami penurunan. Data Gabungan Industri Otomotif Indonesia (GAIKINDO) mencatat bahwa penjualan mobil listrik turun hingga 15% pada periode Januari-November 2024. Banyak calon pembeli memilih menunda transaksi hingga tersedia mobil listrik dengan fitur yang lebih canggih serta harga yang lebih bersaing dengan Low-Cost Green Car (LCGC). Tak ada jaminan, situasi serupa tidak terulang di tahun 2025.
Itupun belum seberapa. Problem lebih mendasar justru terkletak pada karakter mobil listriknya sendiri. Kendaraan berbasis energi terbarukan ini memang menjanjikan masa depan ramah lingkungan. Namun, tantangan penyusutan nilai yang tinggi membuatnya kurang menarik sebagai jaminan pembiayaan. Itu artinya, aspek profitabilitas mobil listrik, sebagai bagian dari prinsip ekonomi berkelanjutan 3P (People, Planet, Profit), masih menjadi pertanyaan.
Bagi pelaku usaha multifinance, nilai penyusutan itulah yang menjadi tantangan terbesar. Bahkan, depresiasi harga jual kembali mobil listrik bekas pada tahun 2025 diperkirakan akan tetap tinggi akibat sengatan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%, munculnya model mobil listrik baru yang lebih kompetitif, serta ketakutan konsumen terhadap kondisi baterai dan garansi kendaraan listrik. Tak heran jika banyak lembaga pembiayaan yang masih menolak pengajuan kredit untuk mobil listrik.
Masalah lainnya adalah infrastruktur pengisian daya yang masih terbatas. Betul pemerintah terus mendorong pembangunan stasiun pengisian daya. Tapi ketersediaannya jauh dari cukup. Ini yang membuat mobil listrik belum menarik bagi konsumen, terutama di daerah yang belum memiliki fasilitas pengisian daya memadai. Harga baterai yang mahal dan waktu pengisian daya yang lama juga menjadi kendala. Keterbatasan suku cadang pun masih dipersoalkan.
Bahkan asepk lingkungan dalam penggunaan mobil listrik juga dipertanyakan. Maklum, penambangan bahan baku baterai mobil listrik seperti lithium dan nikel memiliki konsekuensi ekologis yang besar. Ini menimbulkan dilema dalam aspek keberlanjutan lingkungan.
Mestinya, jika tujuan utama mobil listrik adalah mengurangi emisi karbon, maka dampak rantai pasok produksinya harus menjadi perhatian dalam analisis keberlanjutan. Ketergantungan pada sumber energi listrik yang masih berasal dari pembangkit berbasis batu bara juga menimbulkan perdebatan tentang klaim bahwa kendaraan listrik benar-benar lebih hijau dibandingkan mobil konvensional.
Kalau sudah begini, industri multifinance di Indonesia dihadapkan pada realitas bahwa risiko tata kelola dan keberlanjutan mobil listrik masih menjadi teka-teki. Kendati, mobil listrik menawarkan peluang bisnis menjanjikan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat bahwa nilai pembiayaan kendaraan listrik terus meningkat, mencapai Rp 16,69 triliun pada akhir 2024. Namun, pertumbuhan ini masih relatif kecil dibandingkan dengan total portofolio pembiayaan kendaraan bermotor secara keseluruhan.
Semua Harus Ngebut
Pakar energi terbarukan dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Yannes Martinus Pasaribu, menekankan bahwa percepatan adopsi kendaraan listrik bergantung pada insentif pemerintah dan kesiapan ekosistem pembiayaan yang lebih fleksibel. Tanpa kepastian atas nilai aset jaminan, lembaga keuangan tentu enggan terlibat lebih jauh dalam skema kredit mobil listrik.
Harga mobil listrik yang tinggi dan risiko depresiasi yang tajam juga membuat orang berpikir dua kali sebelum membeli. Riset GAIKINDO, pada 2024, menunjukkan bahwa 56% konsumen merasa harga mobil baru semakin tidak terjangkau, 50% menganggap pajak kendaraan terlalu tinggi, dan 37% merasa suku bunga leasing terlalu membebani. Ketidakpastian ini diperburuk dengan potensi biaya perawatan baterai yang mahal serta kurangnya layanan purna jual yang menjamin keandalan dalam jangka panjang.
Lantas, itu tadi, peran mobil listrik sebagai bagian dari prinsip 3P perlu dipertegas benar. Jika dari sisi “People”, mobil listrik berpotensi mengubah kebiasaan masyarakat dalam bertransportasi secara lebih ramah lingkungan dan dari sisi “Planet” diasumsikan bisa berkontribusi dalam pengurangan emisi karbon, maka sisi “Profit” masih tanda tanya. Industri multifinance belum melihat skema bisnis yang benar-benar menguntungkan. Tanpa mekanisme perlindungan terhadap depresiasi aset, risiko pembiayaan bermasalah akan semakin besar dan dapat mengancam stabilitas industri.
Untuk mengatasi berbagai tantangan ini, pemerintah perlu mempercepat pengembangan infrastruktur pengisian daya dan memberikan insentif tambahan untuk mendukung nilai jual kembali mobil listrik. Pabrikan juga harus ngebut. Guru Besar FTUI Feri Yusivar menekankan pentingnya sistem penggerak pada kendaraan listrik sebagai komponen kunci dalam transisi menuju transportasi yang lebih bersih. Ia mengungkapkan, Indonesia memiliki potensi menyerap 100 juta mobil listrik pada 2060 karena faktor teknologi kecerdasan buatan, infrastruktur yang andal, dan perubahan kebijakan.
Otoritas juga perlu segera mendorong peningkatan tata kelola dan respons risiko kredit dalam pembiayaan kendaraan listrik agar pasar berkembang lebih sehat. Selain itu, industri multifinance harus mulai mengembangkan skema pembiayaan yang lebih inovatif, seperti program trade-in untuk mobil listrik bekas atau insentif tambahan bagi konsumen yang memilih kendaraan ramah lingkungan.
Penerapan teknologi dalam analisis risiko kredit juga menjadi hal yang sangat diperlukan. Penggunaan big data dan artificial intelligence (AI) dalam credit scoring dapat membantu lembaga pembiayaan dalam menilai kelayakan kredit dengan lebih akurat. Selain itu, adopsi sistem manajemen risiko yang lebih canggih dapat membantu mengurangi kemungkinan gagal bayar dan menjaga keseimbangan portofolio pembiayaan.
Industri multifinance memiliki peran strategis dalam menentukan arah masa depan mobil listrik di Indonesia. Jika tantangan ini dapat diatasi, maka mobil listrik bisa menjadi bagian dari solusi transportasi berkelanjutan. Bisa jadi, bahkan, mobil-mobik listrik yang dipakai nanti adalah buatan dalam negeri, bukan lagi merek-merek impor seperti seperti yang dari Eropa tadi. Sebaliknya, jika semua tantangan tadi gagal ditangani, maka adopsi mobil listrik di Indonesia terancam bakal macet, setidaknya padat merayap.