Reformasi Haji: Mabrur, Lancar, Berkelanjutan
Tulisan Populer 4 Februari 2025 Ananda Febriana Syafitri Read Time 5 minutes
![](https://perbanas.id/duaribu19/wp-content/uploads/2025/02/Whats_App_Image_2025_01_31_at_4_23_21_PM_358303beb7.webp)
Penulis: Muhammad Dini Asmara (Mahasiswa Doktoral Perbanas Institute
Musim haji segera datang. Kurang dari tiga bulan lagi, Indonesia akan memberangkatkan kloter pertamanya. Berkaca pada masalah penggunaan kuota tambahan haji tahun lalu, Indonesia kini menghadapi tantangan besar dalam pengelolaan ibadah haji. Semua berharap proses ini akan berjalan lancar, namun antrean daftar tunggu yang mencapai puluhan tahun menjadi bukti nyata betapa mendesaknya reformasi sistem haji dilakukan.
Presiden Prabowo Subianto telah berkali-kali menunjukkan perhatian dan komitmen terhadap urusan haji ini. Pada awal Januari lalu, Presiden meminta KPK untuk mendampingi Kementerian Agama (Kemenag) dalam penyelenggaraan haji 2025. Presiden juga menyatakan akan terbang ke Arab Saudi untuk meminta tambahan kuota haji bagi lansia. Dua pekan kemudian, Presiden menyatakan bahwa biaya haji masih bisa diturunkan lagi.
Banyak masalah yang masih menghantui ibadah haji. Oleh karena itu, perbaikan perlu dilakukan secara menyeluruh. Saat ini, ada rencana revisi Undang-undang Haji yang tengah dibahas. Pemegang kewenangan penyelenggaraan haji reguler akan berpindah dari Kemenag ke Badan Penyelenggara (BP) Haji, mulai musim 2026. BP Haji ini tengah menyiapkan usulan revisi UU Haji untuk disampaikan ke DPR.
Salah satu langkah strategis yang diusulkan dalam revisi UU Haji adalah moratorium tabungan haji. Dengan menghentikan sementara antrean haji, pemerintah dapat memberi prioritas keberangkatan bagi lansia, sembari menyiapkan sistem baru yang lebih adil dan efisien.
Kenapa Moratorium?
Antrean haji di Indonesia adalah yang terlama di dunia, bisa mencapai 30 tahun. Penyebabnya adalah ada lebih dari lima juta orang yang setiap tahun mendaftar untuk berangkat haji, padahal kuota yang tersedia hanya 220 ribu jemaah per tahun.
Tak heran jika banyak pendaftar yang menua dan akhirnya tidak bisa berangkat karena sakit atau meninggal sebelum gilirannya tiba. Pada tahun 2022, terdapat 1,2 juta lansia di atas 60 tahun yang masih mengantre. Angka tersebut setara dengan enam tahun kuota pemberangkatan.
Makanya, moratorium selama enam tahun perlu diberlakukan dan prioritas kuota diberikan kepada lansia yang sudah terdaftar. Pemerintah juga dapat menerapkan batasan usia pendaftaran, seperti yang dilakukan oleh negara lain, untuk memastikan sistem tetap berkelanjutan dalam jangka panjang.
Setelah enam tahun moratorium, pemerintah dapat memberlakukan sistem baru dengan memperbanyak kuota haji khusus. Ini untuk memastikan bahwa mereka yang mampu secara finansial memiliki akses lebih besar untuk menunaikan ibadah haji, sesuai dengan prinsip kemampuan dalam agama Islam. Haji adalah kewajiban bagi mereka yang mampu, baik fisik maupun finansial.
Aturan juga harus tegas: hanya boleh satu kali berhaji seumur hidup. Dengan demikian, pemerintah dapat memastikan bahwa kuota yang tersedia benar-benar dimanfaatkan oleh mereka yang belum pernah berhaji.
Haji Berkelanjutan
Namun, moratorium saja tidak cukup. Reformasi harus lebih dari sekadar manajemen antrean. Penyelenggaraan haji harus memperhatikan aspek keberlanjutan, baik dari segi keuangan maupun dampak sosial dan lingkungan yang ditimbulkan.
Saat ini, dana haji yang dikelola Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) lebih dari Rp 160 triliun. Penempatan terbesar ada dalam surat berharga syariah negara (SBSN), yakni sebesar Rp 95,8 triliun (60,04%), diikuti dengan penempatan di perbankan sebesar Rp 53,1 triliun (33,18%). Investasi langsung dan lainnya sebesar Rp 10,5 triliun (6,78%). Kendati jumlah dana haji ini terlihat besar, alokasinya masih kurang optimal dalam mendukung keberlanjutan penyelenggaraan haji dan meningkatkan kesejahteraan umat.
Sejak adanya BPKH pada 2017, pengelolaan dana haji menjadi lebih baik. Keuntungan dari pengelolaan dana haji (Nilai Manfaat Dana Haji) oleh BPKH lebih tinggi dibanding sebelumnya. BPKH juga menerapkan strategi Socially Responsible Investment (SRI) dan Social Impact Investment (SII). Jadi, pengelolaan dana haji tidak hanya mengoptimalkan keuntungan, tetapi juga memastikan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan. Dengan demikian, pengelolaan dana haji sejalan dengan prinsip keberlanjutan.
Saat ini, nilai manfaat dana haji sekitar Rp 10,1 triliun per tahun. Sebagian besar digunakan untuk subsidi biaya haji reguler, sehingga jemaah hanya perlu membayar sekitar Rp 56–93 juta, padahal total biaya haji bisa mencapai lebih dari Rp 100 juta.
Subsidi ini membantu meringankan biaya haji, tetapi sistemnya kurang tepat sasaran. Tidak semua jemaah reguler membutuhkan bantuan finansial. Subsidi seharusnya lebih difokuskan pada mereka yang benar-benar kurang mampu. Revisi UU Haji mestinya bisa menangani permasalahan ini.
Jika subsidi lebih tepat sasaran, BPKH bisa lebih mendukung rencana Presiden Prabowo untuk membangun kampung haji di Arab Saudi. Ini adalah pilihan investasi hijau berbasis ESG (Environmental, Social, Governance). Dengan menggunakan dana haji, proyek ini difokuskan pada pembangunan hunian ramah lingkungan, berbasis energi terbarukan, dan mendukung standar keberlanjutan internasional. Proyek ini dapat menjadi model investasi yang tidak hanya menguntungkan secara finansial, tetapi juga memberikan dampak sosial dan lingkungan yang positif bagi jemaah Indonesia di tanah suci.
Kolaborasi bisa dijajaki dengan Kerajaan Arab Saudi. Menteri Energi Arab Saudi telah menetapkan target energi bersih, meluncurkan penawaran kompetitif untuk proyek energi hijau, dan bermitra dengan pemangku kepentingan lokal serta internasional. Peluang kolaborasi ini tidak mustahil akan mendatangkan investor global dan memberi keuntungan bagi Indonesia.
BPKH juga bisa berinvestasi pada proyek-proyek pengembangan infrastruktur pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi umat. Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara luas, sekaligus memastikan bahwa dana haji dikelola secara transparan, akuntabel, dan berkelanjutan.
Jika dikelola lebih strategis, dana haji bahkan bisa menjadi motor pertumbuhan ekonomi nasional sekaligus mendukung Prinsip 3P (planet, people, and profit) dalam ekonomi berkelanjutan. Dana haji dapat mendukung ekonomi berbasis syariah dan UMKM, sehingga membantu meningkatkan kesejahteraan umat.
Presiden Prabowo memiliki peluang emas untuk menciptakan sejarah baru dalam pengelolaan ibadah haji di Indonesia. Dengan transparansi distribusi kuota, aturan berhaji satu kali seumur hidup, reformasi subsidi, dan investasi hijau, Indonesia bisa menjadi teladan pengelolaan haji di dunia.
Jadi, reformasi haji bukan hanya soal ibadah, tetapi juga memastikan perjalanan suci ini dapat dinikmati oleh generasi mendatang. Pahala dapat bertambah, bukan hanya dari ibadah yang mabrur, tetapi juga dari manfaat pengelolaan dana haji yang dinikmati masyarakat bergenerasi dan menjaga kelestarian lingkungan.