Tantangan Keberlanjutan Bank Perekonomian Rakyat

Oleh: Handy Setyawan (Mahasiswa Doktoral Perbanas Institute dan Praktisi Perbankan)

Tahun 2025 baru saja dimulai, masih teringat oleh kita di tahun 2024 yang lalu terdapat 20 Badan Perekonomian Rakyat (BPR) telah dicabut ijin usahanya (CIU) oleh Otoritas Jasa Keuangan  (OJK). Fenomena cabut ijin usaha BPR apakah berlanjut di tahun 2025?. BPR yang sebelumnya dikenal sebagai lembaga keuangan mikro yang memberikan layanan kepada masyarakat kecil, kini menghadapi tantangan berat yang memengaruhi keberlanjutan operasionalnya. Penutupan sejumlah BPR dalam beberapa tahun terakhir menjadi sorotan, mengingat peran vital BPR dalam mendukung perekonomian lokal, terutama di daerah-daerah yang tidak terjangkau oleh bank-bank umum. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae pernah mengatakan bahwa OJK telah melakukan upaya penyelamatan kepada bank yang sedang sakit, seperti penambahan setoran modal, aksi korporasi, hingga konsolidasi.

Di balik penutupan ini, terdapat bermacam faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup BPR. Faktor utama tata kelola menjadi alasan terkuat di balik penutupan bank tersebut. Salah satu faktor lain ketatnya persaingan dengan bank-bank umum dan/atau finctech yang memiliki sumber daya lebih besar dan kemampuan teknologi yang lebih canggih. BPR yang lebih kecil sering kali kesulitan beradaptasi dengan perkembangan teknologi perbankan yang semakin cepat. Perubahan pola perilaku nasabah yang semakin ingin efisien lebih memilih layanan digital juga menjadi tantangan besar bagi BPR yang sebagian besar masih mengandalkan sistem konvensional. Keinginan nasabah yang semakin efisien menjadi jalan menuju digitalasi perbankan, namun hal ini menjadi lonceng penderitaan bagi sebagian besar BPR yang membutuhkan modal yang cukup besar.

Selain itu, isu kualitas kredit yang tidak terkendali turut menjadi penyebab penurunan kinerja beberapa BPR. Banyak nasabah yang tidak mampu membayar kembali pinjaman mereka, yang pada gilirannya menyebabkan kerugian keuangan bagi BPR. Rendahnya tingkat likuiditas dan sulitnya akses terhadap pendanaan, BPR semakin kesulitan untuk mempertahankan operasional dalam jangka panjang.

Pemerintah sebenarnya telah berupaya memberikan dukungan untuk BPR agar dapat beradaptasi dan terus beroperasi, melalui kebijakan-kebijakan yang mendukung penguatan permodalan dan pengelolaan risiko. Namun, perubahan yang diperlukan untuk memodernisasi dan meningkatkan daya saing BPR tidak dapat terjadi dalam semalam. Terlebih lagi, ketidakmampuan beberapa BPR untuk bertransformasi dengan cepat dalam menghadapi era digital semakin memperburuk situasi. Dalam hal ini OJK telah menerbitkan POJK Nomor 7 tahun 2024 dalam rangka mendukung penguatan BPR.

Penutupan BPR yang berlanjut, dampaknya cukup terasa bagi masyarakat, terutama di daerah-daerah yang tergantung pada akses keuangan dari lembaga keuangan mikro ini. Bagi sebagian besar masyarakat, BPR adalah salah satu sumber utama pembiayaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), yang sangat penting untuk perekonomian lokal. Tanpa adanya BPR, masyarakat yang membutuhkan pinjaman dengan jumlah kecil dan proses yang lebih sederhana harus mencari alternatif lain yang mungkin tidak selalu tersedia atau terjangkau.

Fenomena penutupan BPR menjadi refleksi atas tantangan besar yang dihadapi oleh sektor perbankan mikro di Indonesia. Selanjutnya, perlu adanya upaya lebih besar untuk menciptakan ekosistem perbankan yang inklusif, yang dapat mengakomodasi kebutuhan masyarakat luas, terutama yang berada di daerah-daerah terpencil dan ekonomi menengah ke bawah. Ekonom Bhima Yudhistira juga berpandangan, hadirnya bank digital bisa menurunkan belanja operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) bank. Karena dengan bank digital bank cabang tidak lagi dibutuhkan, namun Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah berpendapat bahwa bank digital tidak akan terpengaruh terhadap melonjaknya konsumsi dan pertumbuhan kredit.

Perkembangan teknologi yang semakin maju secara global akan mempengaruhi perilaku masyarakat menjadi ingin lebih efisien, cepat dan mudah. Digitalisasi menjadi jembatan agar BPR dapat bersaing dengan industri lainnya yang telah dapat menggantikan peran bank dalam menghimpun dana maupun menyalurkan kredit kepada masyarakat, sehingga keberlanjutan BPR salah satunya harus dapat beradapatasi dengan perkembangan teknologi terkini untuk dapat mengikuti perilaku masyarakatnya.