Swasembada dan Keberlanjutan Pangan

Penulis: Rendy Riyanto (Praktisi Industri Pangan | Mahasiswa Doktoral Perbanas Institute)

Indonesia tengah mengupayakan swasembada pangan sebagai prioritas nasional untuk mewujudkan ketahanan pangan berkelanjutan.  Presiden Prabowo Subianto, saat meresmikan proyek ketenagalistrikan di Jawa Barat, Senin (20/1/2025), mengatakan, sebelum dua tahun dirinya memerintah, Indonesia sudah bisa mencapai swasembada pangan.

Untuk menjalankan komitmen ini, pemerintah sudah melakukan berbagai langkah strategis. Mulai dari peningkatan produktivitas beras, perluasan lahan pertanian, hingga perbaikan tata niaga pupuk. Namun, beragam upaya ini bukannya tidak menghadapi tantangan. Sektor pertanian kita sudah lama dihadang oleh problem alih fungsi lahan, perubahan iklim, pengurangan tenaga kerja, dan ketergantungan pada konsumsi beras yang sangat tinggi.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa produksi beras untuk konsumsi pangan pada tahun 2023 mencapai 30,90 juta ton, dan diperkirakan akan menurun menjadi 30,34 juta ton pada 2024. Penurunan sebesar 757 ribu ton ini disebabkan oleh berkurangnya luas panen padi yang diproyeksikan turun dari 10,20 juta hektare menjadi 10,05 juta hektare.

Meski demikian, produktivitas padi nasional sebesar 5,29 ton gabah kering giling (GKG) per hektare memberikan harapan di tengah penurunan luas lahan. Proyeksi dari Badan Pangan Nasional (Bapanas) menunjukkan surplus produksi sebesar 1,19 juta ton pada 2024, meski angka ini belum cukup untuk memenuhi target swasembada pangan.

Laporan FAO (2022) menyebutkan, Indonesia berada di peringkat kedelapan produsen beras terbesar dunia tahun 2022, dengan produksi mencapai lebih dari 55 juta ton GKG. Namun, konsumsi beras per kapita di Indonesia, yang mencapai 114 kilogram per tahun, jauh melebihi rata-rata global sebesar 65 kilogram. Ketergantungan tinggi pada beras menciptakan kerentanan terhadap perubahan iklim dan dinamika pasar global.

Untuk mendukung swasembada pangan, pemerintah merencanakan pencetakan sawah baru seluas tiga juta hektare dalam lima tahun mendatang. Bapanas menargetkan pencetakan 750 ribu hektare per tahun mulai 2025 hingga 2027. Selain itu, peningkatan produktivitas melalui teknologi modern menjadi fokus utama.

Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menyebutkan bahwa pemerintah menargetkan produksi beras mencapai 32 juta ton per tahun sebagai bagian dari peta jalan swasembada pangan. Bank Dunia (2023) mencatat bahwa peningkatan 1 persen produktivitas beras dapat menurunkan tingkat kemiskinan pedesaan hingga 0,5 persen, menjadikan hal ini sebagai langkah penting tidak hanya untuk ketahanan pangan, tetapi juga untuk pengentasan kemiskinan.

Peran Bulog dalam menjaga cadangan beras pemerintah juga semakin vital. Pada tahun 2025, Bulog menargetkan pengadaan 3 juta ton beras domestik, meningkat signifikan dibandingkan realisasi 1,27 juta ton pada tahun 2024. Asian Development Bank (ADB) menyebutkan bahwa stabilitas harga beras di Indonesia menjadi faktor kunci dalam menjaga daya beli masyarakat berpenghasilan rendah. ADB juga menyarankan peningkatan kapasitas penyimpanan beras nasional untuk mencegah lonjakan harga akibat fluktuasi pasar global.

Namun, masalah mendasar seperti tata niaga pupuk masih menjadi tantangan. Pemerintah menerapkan sistem penebusan pupuk bersubsidi berbasis KTP untuk memastikan distribusi yang tepat sasaran. Alokasi pupuk bersubsidi diproyeksikan mencapai 9 juta ton pada 2025, dengan fokus pada petani kecil. Meski demikian, efektivitas kebijakan ini bergantung pada infrastruktur distribusi yang memadai dan literasi teknologi petani.

Jika semua masalah itu mampu diatasi bersama, bukan tak mungkin swasembada pangan akan tercapai. Toh, swasembada juga bukan barang baru bagi Indonesia. Pada 1984, peemrintahan orde baru berhasil mencapai prestasi itu. Namun,  menurut Pantjar Simatupang dan Wayan Rusastra dalam Kebijakan Pembangunan Agribisnis Padi (2004), swasembada yang dibanggakan itu hanya bertahan lima tahun.

Lalu, di periode pertama Presiden Joko Widodo, Indonesia juga pernah mengalami surplus produksi beras sekitar 2,5 juta ton pada tahun 2017–2020. Setelah itu impor beras malah kian menggila.

Keberlanjutan dan Diversifikasi

Itu sebabnya selain swasembada, keberlanjutan juga menjadi elemen penting dalam strategi pangan nasional. Kepala Bapanas, Arief Prasetyo Adi, menekankan bahwa keberlanjutan harus mencakup praktik pertanian ramah lingkungan, diversifikasi tanaman, dan pelatihan petani. Keberlanjutan harus memastikan terciptanya bisnis yang menguntungkan dan kesejahetraan rakyat secara keseluruhan.

Pengelolaan air yang efisien, pengurangan pupuk kimia, dan pengelolaan limbah pertanian menjadi prioritas untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan pangan dan kelestarian lingkungan. Program transisi menuju ekonomi hijau yang dicanangkan pemerintah juga berfokus pada optimalisasi teknologi ramah lingkungan di sektor pertanian.

Tantangan besar lainnya adalah minimnya diversifikasi pangan. Budaya konsumsi masyarakat yang terfokus pada beras sulit diubah meski berbagai alternatif pangan tersedia. Menurut Jaqualine Wijaya, Co-founder Food Sustainesia, keberlanjutan pangan memerlukan keterlibatan generasi muda melalui edukasi tentang asal-usul makanan, gizi, dan pengurangan limbah makanan.

Upaya ini dapat dimulai dari rumah tangga dengan memprioritaskan sumber pangan lokal dibandingkan bahan impor. Hal ini sejalan dengan tiga aspek penting dalam sistem pangan berkelanjutan: sumber pangan, kandungan gizi, dan pengelolaan limbah makanan.

FAO menekankan pentingnya diversifikasi pangan sebagai strategi untuk mengurangi tekanan pada produksi beras. Diversifikasi ini mencakup pemanfaatan sumber pangan lokal yang kaya potensi tetapi kurang mendapat perhatian. Diversifikasi ini juga yang bakal menjadi kunci keberhasilan swasembada dan keberlanjutan pangan.

Hambatan lain adalah berkurangnya jumlah petani. Generasi muda jarang tertarik pada profesi ini. Rantai perdagangan produk pangan juga sangat panjang dan tidak efisien. Banyak spekulan turut bermain sehingga memangkas pendapatan petani,

Literasi keuangan dan teknologi yang rendah di kalangan petani memperburuk situasi. Untuk itu, pelatihan dan insentif diperlukan untuk menarik minat generasi muda ke sektor pertanian dan meningkatkan efisiensi produksi.Akses teknologi juga diperlukan. Itu semua menjadi PR yang tidak mudah.

Dari belahan dunia lain, ketegangan geopolitik global seperti konflik Rusia-Ukraina menambah tantangan mencapai ketahanan pangan. Ketidakstabilan pasar global dan fluktuasi harga komoditas memengaruhi biaya produksi dan ketersediaan bahan baku. Dalam situasi ini, swasembada pangan menjadi sangat relevan bagi Indonesia.

Namiun mewujudkan swasembada pangan membutuhkan pendekatan holistik yang melibatkan pemerintah, akademisi, sektor swasta, dan masyarakat. Mempertahankan swasembada jauh lebih sulit lagi. Apalagi memastikan keberlanjutan pangan. Keberpihakan, kolaborasi erat, dan pemanfaatan teknologi modern menjadi kunci mengatasi tantangan yang ada.

Pemerintah juga harus melibatkan petani dan UMKM secara aktif dalam upaya swasembada Jangan menjadikan mereka objek pelengkap belaka. Dengan begitu, Indonesia berpotensi besar mencapai ketahanan pangan berkelanjutan dan memangkas ketergantungan impor.