Menyoal Kembali Sarjana Pengangguran
Tulisan Populer 30 Januari 2025 Ananda Febriana Syafitri Read Time 5 minutes
![](https://perbanas.id/duaribu19/wp-content/uploads/2025/01/Deden-Prayitno-1193x642-1.jpeg)
Oleh: Deden Prayitno (Dosen FTI, Mahasiswa Doktoral Perbanas Institute)
Menteri Ketenagakerjaan Yassierli bukanlah sosok asing dalam dunia pendidikan tinggi. Sebagai akademisi dan peneliti di Institut Teknologi Bandung (ITB) selama puluhan tahun, ia memiliki kredibilitas untuk menyuarakan kritik terhadap perguruan tinggi yang gagal mempersiapkan lulusan mereka untuk bersaing di dunia industri, sehingga jumlah sarjana pengangguran begitu banyak sekarang ini.
Dalam kuliah umum di Universitas Andalas, Padang, pada 10 Januari 2025, Menteri Yassierli mengemukakan pandangan menggelitik. Ia katakan, lulusan perguruan tinggi ibarat produk. Jika produk tersebut tidak diminati pasar, maka yang perlu dicermati adalah proses produksinya, bukan produknya. Perguruan tinggi, katanya, harus memastikan bahwa lulusan yang mereka hasilkan benar-benar sesuai dengan kebutuhan industri.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) memang menunjukkan bahwa jumlah sarjana menganggur terus meningkat. Pada 2014, terdapat 495.143 sarjana yang gagal mendapatkan pekerjaan. Angka ini lalu melonjak hampir 100% menjadi 981.203, pada 2020. Pada 2024, jumlah tersebut sedikit menurun menjadi 842.378 orang. Sementara itu, lulusan diploma/akademi menunjukkan tren lebih baik, dengan jumlah pengangguran yang menurun dari 305.261 pada 2020 menjadi 170.527 pada 2024. Keberhasilan ini dapat dikaitkan dengan fokus pendidikan diploma pada keterampilan praktis yang lebih sesuai dengan kebutuhan industri.
Fenomena pengangguran sarjana ini memunculkan ironi. Pendidikan tinggi yang selama ini dianggap sebagai jalan keluar dari kemiskinan justru sering kali menjadi jebakan. Banyak lulusan yang menginvestasikan waktu dan biaya besar untuk pendidikan, tetapi akhirnya tidak produktif.
Boleh jadi, masalah ini disebabkan oleh fenomena aspirational mismatch, yaitu ketidaksesuaian antara harapan lulusan dengan kenyataan di pasar kerja. Selain itu, ada juga fenomena reservation wage gap atau kecenderungan lulusan untuk menunggu pekerjaan yang dianggap layak, yang ternyata malah turut memperburuk situasi.
Betul, pemerintah telah berupaya untuk mendorong perguruan tinggi menyiapkan lulusan yang lebih relevan dengan dunia usaha dan dunia industri (DUDI), dengan target penyerapan tenaga kerja hingga 66,7 persen pada 2024. Namun, upaya itu terbentur pada tingginya persaingan di pasar kerja. Ribuan mahasiswa lulus setiap tahun sementara peluang kerja yang tersedia tidak sebanding. Sektor-sektor populer seperti teknologi informasi, keuangan, dan pemasaran semakin kompetitif. Perusahaan pun cenderung lebih selektif dalam merekrut karyawan baru.
Amich Alhumami, Deputi Bidang Pembangunan Manusia, dan Kebudayaan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), menekankan pentingnya keselarasan antara pendidikan tinggi dan kebutuhan industri untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Senada dengan itu, Koordinator Nasional Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G), Satriwan Salim, menyebut relevansi pendidikan dengan dunia kerja sebagai tantangan utama yang harus segera diatasi.
Menurut Satriwan, sistem pendidikan tinggi di Indonesia masih terlalu berorientasi pada teori dan kurang memberikan ruang untuk pengembangan keterampilan praktis. Hal ini diperparah oleh minimnya kesempatan magang dan lemahnya kerja sama antara perguruan tinggi dan industri.
Kemitraan Strategis Kampus dan DUDI
Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Satryo Brodjonegoro, pada 3 Januari 2025, menyoroti tiga masalah utama dalam pendidikan tinggi di Indonesia: ketimpangan akses, kualitas pendidikan, dan kurangnya relevansi dengan kebutuhan industri. Menteri Satryo menegaskan, perguruan tinggi harus berdampak langsung pada masyarakat dan dunia kerja. Kampus perlu menjalin kerja sama erat dengan dunia usaha dan industri (DUDI) untuk memastikan kurikulum yang relevan dan responsif terhadap perubahan kebutuhan pasar.
Kurangnya kolaborasi ini, menurut Menteri Satryo, menyebabkan lambatnya adaptasi sistem pendidikan terhadap perkembangan teknologi terbaru seperti kecerdasan buatan, otomatisasi, dan manajemen data. Sebagai akibatnya, lulusan perguruan tinggi sering kali dianggap kurang siap menghadapi tuntutan dunia kerja yang dinamis. Perusahaan, di sisi lain, lebih memilih tenaga kerja berpengalaman dibandingkan lulusan baru yang memerlukan pelatihan tambahan untuk mencapai produktivitas yang diharapkan.
Dampak dari tingginya pengangguran lulusan perguruan tinggi tidak hanya dirasakan oleh individu, tetapi juga oleh masyarakat secara keseluruhan. Frustrasi, hilangnya kepercayaan diri, dan penurunan produktivitas generasi muda adalah beberapa dampak negatif yang timbul. Selain itu, potensi inovasi dan pengembangan teknologi nasional terhambat akibat riset yang tidak relevan atau tidak diterapkan dengan baik. Indonesia pun menghadapi risiko ketergantungan pada sumber daya asing dan sulit bersaing di tingkat global.
Perguruan tinggi dituntut untuk segera mengambil langkah konkret. Beberapa upaya bisa dilakukan seperti menjalin kemitraan strategis dengan DUDI untuk menyelaraskan isi mata kuliah dengan kebutuhan pasar kerja. Program magang wajib, pelatihan keterampilan praktis, dan sertifikasi profesional juga harus menjadi bagian integral dari kurikulum. Selain itu, pendanaan penelitian bersama antara pemerintah, perguruan tinggi, dan industri dapat mendorong inovasi yang relevan dengan kebutuhan pasar.
Dalam mendukung inisiatif ini, pemerintah juga memiliki peran penting Insentif bagi perusahaan yang menyelenggarakan program magang atau mendanai penelitian di perguruan tinggi dapat menjadi salah satu solusi. Program yang memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk mendapatkan pengalaman praktis di dunia kerja selama masa studi mereka adalah langkah positif yang perlu diperluas implementasinya. Mahasiswa juga perlu lebih proaktif dalam mengembangkan keterampilan yang relevan dengan kebutuhan pasar.
Sementara itu, perusahaan diharapkan memberikan kesempatan lebih luas kepada lulusan baru untuk membuktikan potensi sesuai keahlian dan kompetensi para lulusan. Perusahaan-perusahaan dengan kategori tertentu wajib membuka kerja sama dengan lembaga pendidikan untuk menyelaraskan kurikulum dengan kebutuhan industri, serta memberikan program pelatihan dan magang bagi mahasiswa.
DUDI harus menciptakan lingkungan kerja yang baik dalam mendukung perkembangan karir, sehingga para lulusan dapat mengembangkan potensi mereka secara optimal. Dengan demikian, DUDI tidak hanya membantu mengurangi angka pengangguran sarjana tetapi juga berkontribusi pada peningkatan kualitas tenaga kerja Indonesia.
Jangan lupa pula, pemerintah harus memastikan bahwa lingkungan usaha dan ekonomi bebas dari biaya siluman dan korupsi yang dapat menghambat perkembangan bisnis dan rekrutmen tenaga kerja. Hal ini bisa dicapai melalui penegakan hukum yang tegas, penyederhanaan regulasi, dan transparansi perizinan.
Pemerintah juga dapat memberikan insentif bagi perusahaan yang berkomitmen menyerap tenaga kerja lokal. Melalui ekosistem bisnis yang baik, proses rekrutmen tenaga kerja dapat berlangsung fair sesuai keahlian dan kompetensi yang dibutuhkan, sehingga mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.