Membangun Negara dengan Manajemen Risiko

Oleh: Andi Setyo Pambudi (Mahasiswa Doktoral Perbanas Institute, ASN Bappenas)

Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto saat ini tengah mengevaluasi proyek strategis nasional (PSN) warisan Presiden Joko Widodo.  Evaluasi dilakukan terhadap seluruh PSN, termasuk Pantai Indah Kapuk (PIK) II, yang menimbulkan polemik nyaris di sepanjang bulan Januari 2025 ini.

Evaluasi memang lazim dilakukan. Apalagi jika tujuannya untuk mengendalikan risiko pembangunan yang dapat menghambat keberhasilan pembangunan. Dalam upaya tersebut, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 39 Tahun 2023 tentang Manajemen Risiko Pembangunan Nasional (MRPN), yang sudah diterbitkan Presiden Joko Widodo, dapat menjadi acuan penting.

MRPN adalah panduan untuk mengidentifikasi, mengevaluasi, dan mengelola risiko yang dapat memengaruhi pembangunan. Risiko-risiko tersebut mencakup kesalahan pengambilan keputusan, masalah tenaga kerja, lahan, hingga ketidaksesuaian rencana dengan kondisi lapangan.

Meski demikian, implementasi MRPN memerlukan langkah konkret dan koordinasi lintas sektor. Bappenas perlu segera menerbitkan aturan pelaksanaan kebijakan MRPN untuk memberikan panduan yang lebih rinci bagi seluruh pemangku kepentingan.

Jerry Marmjen (2023) menegaskan, manajemen risiko bukan hanya panduan, tetapi juga strategi untuk menciptakan nilai tambah dalam setiap tahapan pembangunan. Ekonom senior yang juga pakar lingkungan, Emil Salim (2024), menekankan pentingnya keberlanjutan dalam manajemen risiko.

Keberlanjutan tak sekadar soal ramah lingkungan, tetapi juga pengelolaan risiko yang menciptakan manfaat sosial dan ekonomi jangka panjang. Dengan demikian, MRPN harus mengintegrasikan prinsip keberlanjutan dalam setiap tahap pembangunan, mulai dari perencanaan hingga evaluasi.

Untuk mendukung implementasi MRPN,  Bappenas perlu mengembangkan kerangka yang– meminjam istilah dari Permen BUMN nomor PER-5/MBU/09/2022 Tahun 2022–disebut penerapan manajemen risiko.  Kerangka ini mencakup semua variabel pengendalian risiko yang selanjutnya disebut dengan Kualitas Penerapan Manajemen Risiko (KPMR). Nah, KPMR ini didukung oleh teknologi pengawasan berbasis data untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam setiap tahap pembangunan.

KPMR yang efektif memerlukan pengawasan aktif dari pimpinan organisasi, baik oleh pengurus maupun pengawas, untuk memastikan bahwa setiap langkah pengelolaan risiko dilakukan secara tepat. Selain itu, penerapan Risk Appetite Framework (RAF) yang jelas menjadi langkah penting. RAF memungkinkan semua pihak menyelaraskan tingkat risiko yang dapat diterima, sehingga potensi konflik dapat diminimalkan.

Langkah-langkah seperti identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko harus dilaksanakan dengan sistem informasi manajemen risiko yang baik, serta didukung oleh pengelolaan sumber daya manusia (SDM) yang kompeten di bidang manajemen risiko. Selain itu, sistem pengendalian internal setiap unit kerja yang memiliki risiko perlu diterapkan untuk memastikan pengelolaan risiko yang baik di semua level organisasi.

Evaluasi ulang oleh pihak internal, seperti SPI (Satuan Pengawas Internal) dan SKMR (Sistem Kendali Manajemen Risiko), serta pihak eksternal juga harus dilakukan secara rutin untuk menjaga KPMR. Selain itu,, KPMR dapat menyediakan landasan bagi perancangan, pelaksanaan, pemantauan, dan peningkatan manajemen risiko secara berkala di seluruh organisasi, untuk memastikan keberlanjutan dan efektivitas pengelolaan risiko.

Prinsip-prinsip yang diterapkan dalam KPMR harus mencakup integrasi, keterstrukturan, kustomisasi, inklusivitas, kolaborasi, dan dinamika, dengan memperhatikan informasi terbaik yang tersedia, serta faktor sosial budaya. Selain itu, penting untuk memastikan adanya perbaikan berkelanjutan dalam proses manajemen risiko.

KPMR juga mencakup komunikasi dan konsultasi yang efektif dan terus-menerus, penetapan konteks, penilaian risiko, perlakuan terhadap risiko, serta reviu dan pemantauan yang berkelanjutan.  Yang tak boleh diabaikan pula, pencatatan dan pelaporan yang baik merupakan bagian integral dari proses ini, untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam setiap langkah pengelolaan risiko.

Melindungi dari Jerat Hukum

Contoh penerapan manajemen risiko yang terintegrasi dengan keberlanjutan dapat dilihat dari proyek RAPID (Refinery and Petrochemical Integrated Development) oleh Petronas di Malaysia. Dalam proyek ini, Petronas menggabungkan manajemen risiko dengan strategi keberlanjutan perusahaan.

Pengurangan emisi karbon, penggunaan energi terbarukan, dan perlindungan lingkungan melalui teknologi canggih menjadi bagian integral dari proyek tersebut. Keberhasilan ini menunjukkan bahwa manajemen risiko yang efektif dapat mendukung keberlanjutan sekaligus menciptakan manfaat ekonomi dan sosial.

Indonesia dapat belajar dari pendekatan seperti ini dengan memperkuat koordinasi lintas sektor dan memastikan bahwa semua pihak memiliki komitmen yang sama terhadap keberlanjutan. Dalam jangka pendek, prioritas harus diberikan pada proyek strategis yang sudah berjalan atau yang akan dimulai pada 2025. Risk Heat Map dan RAF dapat digunakan untuk mengidentifikasi risiko sejak awal, sementara KPMR menjadi instrumen responsif untuk memastikan proyek tetap berada di jalur yang benar.

Di sisi lain, insentif berbasis keberhasilan juga dapat menjadi motivasi tambahan bagi para pelaksana proyek. Penghargaan bagi proyek yang mampu memenuhi target keberlanjutan dan memberikan dampak positif bagi masyarakat dalam mendorong pelaksanaan manajemen risiko yang lebih baik. Pelatihan bagi pemangku kepentingan dan pengembangan kapasitas kelembagaan menjadi langkah penting untuk memastikan konsistensi implementasi MRPN.

Manajemen risiko memastikan kemampuan untuk mengelola ketidakpastian tanpa mengorbankan tujuan utama pembangunan. Di era yang penuh dengan tantangan BANI (Brittle, Anxious, Nonlinear, dan Incomprehensible), fleksibilitas menjadi kunci. Proyek pembangunan harus dirancang agar mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan tanpa mengabaikan keberlanjutan dan dampak jangka panjang.

Bappenas, sebagai lembaga perencana pembangunan nasional, memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa MRPN tidak hanya menjadi dokumen kebijakan, tetapi juga pedoman yang dapat diterapkan secara nyata di lapangan. Dengan dukungan anggaran yang stabil dan pengawasan berbasis teknologi, pembangunan nasional dapat menjadi lebih efektif, efisien, dan berkelanjutan.

Jika diterapkan dengan konsisten, MRPN akan menjadi instrumen yang tidak hanya mengatasi risiko, tetapi juga memperkuat daya saing Indonesia di kancah global. Dengan integrasi manajemen risiko, Indonesia dapat menghadapi tantangan pembangunan dengan lebih percaya diri dan mewujudkan Astacita secara inklusif.

Menurut  Jerry Marmen (2023), KPMR dalam MRPN juga dapat menjadi dasar Business Judgment Rule (BJR). MRPN memberikan prinsip dan struktur untuk memastikan keputusan didasarkan evaluasi risiko yang memadai, sementara KPMR memastikan penerapan manajemen risiko yang transparan dan terkontrol. Ini melindungi pengambil keputusan, karena keputusan yang diambil berdasarkan prosedur yang benar dan analisis risiko yang wajar dapat dianggap sah.

Dengan demikian, MRPN dan KPMR memberikan landasan bagi keputusan bisnis yang sesuai dengan BJR, melindungi pengambil keputusan yang bertindak dengan itikad baik dan kewajaran dari jerat hukum. Tidak seperti kasus PIK II yang kontroversial itu.