Jalan Terjal Pembiayaan Berkelanjutan

Oleh Rini Yuniar, Praktisi Perbankan, Mahasiswa Doktoral Manajemen Berkelanjutan Perbanas Institute

INDONESIA dihadapkan pada tantangan besar dalam transisi menuju pembangunan berkelanjutan. Dalam sebuah diskusi tentang pembiayaan hijau di Indonesia, Rabu (22/1/2025), terungkap bahwa Kementerian Keuangan menargetkan dana USD285 miliar (sekitar Rp4.500 triliun), pada 2030, untuk investasi terkait perubahan iklim. Nilai tersebut menegaskan urgensi peran pembiayaan berkelanjutan dalam pembangunan nasional.

Dalam beberapa tahun terakhir, lahir instrumen pembiayaan berkelanjutan berupa Sustainability-Linked Loans (SLL). Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), total pembiayaan hijau di Indonesia pada 2024 sudah lebih dari Rp800 triliun. Capaian ini tampak menjanjikan. Namun, implementasi SLL masih dihadapkan pada berbagai tantangan dalam pemenuhan komitmen Indonesia mencapai Sustainable Development Goals (SDGs) pada 2030.

Pembiayaan berkelanjutan penting untuk mendukung pembangunan ekonomi sesuai dengan prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola yang baik (environmental, social, and governance/ESG). Tujuannya agar kegiatan ekonomi saat ini tidak merugikan generasi mendatang. Pembiayaan berkelanjutan mengarahkan investasi ke proyek-proyek yang memiliki dampak positif jangka panjang, yang membantu mengurangi dampak perubahan iklim serta menjaga kelestarian lingkungan.

Pembiayaan berkelanjutan juga mengurangi risiko jangka panjang bagi investor dan lembaga keuangan. Dengan mempertimbangkan faktor ESG, perusahaan dapat mengidentifikasi dan mengelola risiko yang tidak terpantau analisis keuangan tradisional, termasuk risiko reputasi, risiko regulasi, dan risiko praktik bisnis yang tak berkelanjutan.

Salah satu hambatan utama pembiayaan berkelanjutan adalah greenwashing. Fenomena ini terjadi ketika perusahaan memberikan kesan keliru dalam komitmen mereka terhadap keberlanjutan. Anggota Dewan Ekonomi Nasional, Arief Anshory Yusuf, menekankan bahwa pemantauan dan evaluasi yang menyeluruh diperlukan untuk memastikan bahwa pembiayaan hijau benar-benar memberikan dampak yang signifikan pada pembangunan berkelanjutan.

Kesadaran dan pemahaman tentang pentingnya aspek ESG di kalangan pelaku industri juga masih tergolong rendah. Regulasi POJK No. 51/POJK.03/2017 yang mendorong lembaga keuangan untuk menerapkan keuangan berkelanjutan telah memberikan dasar yang kuat. Namun, banyak perusahaan belum memahami atau menghargai nilai strategis dari integrasi ESG dalam praktik bisnis mereka.

Kurangnya data dan transparansi mengenai kinerja keberlanjutan perusahaan juga menjadi tantangan besar. Bank sering kesulitan menilai risiko dan menetapkan target yang realistis dalam perjanjian SLL, yang akhirnya membatasi efektivitas instrumen ini. Tak ayal, tidak semua lembaga perbankan mampu menerapkan pembiayaan berkelanjutan. Kendati, ada juga sejumlah bank di Indonesia yang telah menunjukkan komitmen kuat dalam SSL.

Pada 2024, portofolio pembiayaan berkelanjutan BCA, misalnya, telah tumbuh 12,5 persen year on year (yoy) menjadi Rp229 triliun. Ini hampir setara dengan 25 persen dari total kredit yang disalurkan. BNI juga mencatatkan pencapaian signifikan dalam pembiayaan berkelanjutan, mencapai 25 persen dari total kredit yang disalurkan pada 2024.

Kolaborasi, Insentif, dan Regulasi

Untuk mendorong perkembangan SSL, peran pemerintah sangat diperlukan. Kristalina Georgieva, Direktur Pelaksana IMF, menekankan pemerintah dan swasta harus berkolaborasi untuk membuka potensi pembiayaan berkelanjutan.

Kolaborasi dapat mendorong inovasi dalam produk keuangan berkelanjutan sekaligus mengatasi kendala yang ada di level operasional. Tantangan ini mencakup minimnya kapasitas dan sumber daya di lembaga keuangan untuk merancang dan mengelola produk SLL yang efektif, termasuk kurangnya tenaga ahli yang memahami kompleksitas ESG dan kemampuan untuk memantau kinerja keberlanjutan debitur.

Hambatan lainnya adalah ketiadaan insentif yang jelas bagi perusahaan ketika berpartisipasi dalam skema SLL. Nicholas Stern, ekonom London School of Economics, dalam bukunya, Why Are We Waiting? (2015), menekankan, transisi menuju perekonomian rendah karbon memerlukan insentif pada inovasi dan investasi.

Tanpa dorongan kuat dari regulasi, perusahaan juga cenderung enggan mengadopsi instrumen pembiayaan berkelanjutan sebagai bagian dari strategi pembiayaan mereka. Kondisi ini diperparah dengan kurangnya infrastruktur pendukung yang memungkinkan pelaporan dan verifikasi kinerja keberlanjutan secara transparan dan akurat.

Tak ayal, diperlukan pengembangan regulasi yang lebih komprehensif untuk mendorong sektor swasta lebih aktif dalam pembiayaan berkelanjutan. Utusan Khusus PBB untuk Aksi Iklim dan Keuangan, Mark Carney, mengatakan, transisi menuju perekonomian net-zero memerlukan regulasi sebagai kerangka kerja yang jelas untuk memastikan kemajuan yang nyata.

Pelajaran penting juga bisa diambil dari dinamika internasional. Di Amerika Serikat, Presiden Donald Trump dan sejumlah politisi Partai Republik mempertanyakan aliansi korporasi seperti Climate Action 100+, dan menuding bahwa ESG hanyalah topeng untuk agenda liberal.  Perusahaan besar seperti Goldman Sachs dan JPMorgan Chase menarik diri dari aliansi. Pengalaman ini menjadi pengingat bahwa pembiayaan berkelanjutan memerlukan dukungan politik dan sosial yang kuat untuk dapat bertahan dari tekanan eksternal.

Dalam konteks Indonesia, tantangan implementasi SLL dapat diatasi melalui upaya kolaboratif yang melibatkan pemerintah, sektor keuangan, dan masyarakat sipil. Sekjen PBB, Antonio Guterres (2022), menyatakan, jangan memberikan toleransi terhadap greenwashing. Pastikan saja perjuangan kita melawan perubahan iklim.