Industri Karet Jangan Terus Mengkeret

Penulis: Hendy Endarwan (Mahasiswa Program Studi Manajemen Berkelanjutan di Perbanas Institute.)

Bukannya tidak bersyukur, pelaku industri karet alam saat ini memang masih harap-harap cemas meski harga karet belakangan naik hingga Rp 32.005 per kilogram di pasar SGX Sicom, Jumat (17/1/2025). Dulu-dulu harganya di bawah Rp 30 ribu per kg. Cuma, ke depannya, siapa yang tahu? Yang jelas, dalam beberapa tahun terakhir, industri karet dalam negeri terus tertekan hingga mengkeret.

Produksi karet nasional yang pernah mencapai 3.680 ton pada 2017, merosot menjadi 2.167 ton pada 2024, ambyar 41%. Penurunan juga diiringi kemerosotan ekspor produk karet alam hingga 49,51%, dari 3.276 ton (2017) menjadi 1.654 ton (2024). Indonesia kehilangan nyaris separuh performa karet alamnya dalam tujuh tahun terakhir.

Tantangan internal seperti harga yang rendah, pandemi Covid-19, dan penyakit gugur daun karet Pestalotiopsis membuat pelaku industri karet babak belur. Kini, ada penerapan Undang-Undang Anti Deforestasi Uni Eropa (EUDR) yang mulai berlaku Januari 2025.

Ketentuan ini mengharuskan semua produk yang masuk ke Eropa memenuhi standar keberlanjutan yang ketat, yang langsung menekan sektor karet Indonesia. Biaya produksi naik karena penyesuaian regulasi ini sementara harga jual tetap stagnan belum tentu bakal mengimbangi, membuat pendapatan petani karet alam kian terpangkas.

Beban semakin berat dengan adanya kebijakan domestik yang mewajibkan eksportir menyimpan devisa hasil ekspor sumber daya alam (DHE SDA) dalam rekening khusus sesuai dengan PP 36 Tahun 2023. Kebijakan ini dianggap mengurangi fleksibilitas eksportir dalam mengelola likuiditasnya.

Namun, yang namanya karet itu elastis. Di tengah banyaknya tekanan, sektor karet Indonesia masih menyimpan potensi untuk bangkit. Salah satu alternatif solusinya adalah model “inclusive closed loop” sebuah pendekatan yang mengedepankan kolaborasi antara petani, pabrik pengolah karet, pemerintah, dan sektor swasta. Skema ini bertujuan menciptakan rantai pasok yang efisien, adil, dan ramah lingkungan.

Model inclusive closed loop melibatkan kolaborasi berbagai pihak secara terbuka dan adil. Dalam model ini, UMKM mendapatkan pendampingan yang melekat, termasuk akses pasar, akses pendanaan, akses teknologi, pelatihan serta pendampingan untuk praktik dan tata kelola yang baik. Pabrik pengolah karet bertindak sebagai “offtaker” yang menjamin pembelian hasil panen petani dengan harga yang stabil dan adil.

Kepastian ini menghilangkan dominasi tengkulak yang seringkali memaksakan harga rendah kepada petani. Sebaliknya, pabrik juga memperoleh pasokan bahan baku berkualitas yang sesuai dengan standar pasar internasional. Untuk mendukung keberlanjutan skema ini, petani diberikan pelatihan tentang teknik budidaya karet yang ramah lingkungan, seperti penggunaan pupuk organik dan pengelolaan lahan berkelanjutan.

Dampak positif dari model ini tidak hanya dirasakan oleh petani dan pabrik, tetapi juga memberikan manfaat besar bagi lingkungan. Dengan teknik budidaya yang lebih baik, petani dapat meningkatkan produktivitas tanpa merusak ekosistem. Dalam jangka panjang, pendekatan ini membantu melestarikan sumber daya alam, mengurangi deforestasi, dan meminimalkan jejak karbon dari sektor perkebunan karet.

Inclusive Closed Loop perlu Dukungan Eksekutif
Penerapan skema inclusive closed loop membutuhkan dukungan penuh dari berbagai pemangku kepentingan, terutama pemerintah. Kebijakan yang mendukung pengelolaan karet berkelanjutan, seperti insentif pajak atau subsidi untuk teknologi ramah lingkungan, akan menjadi katalis penting.

Infrastruktur yang memadai juga harus disiapkan untuk memastikan efisiensi produksi dan distribusi. Presiden Joko Widodo pernah menegaskan bahwa model ini dapat menjadi solusi untuk berbagai sektor, termasuk karet, guna menghadapi tantangan global seperti perubahan iklim dan ketahanan ekonomi nasional.

Sektor keuangan juga memiliki peran krusial dalam mendukung keberhasilan model ini. Akses pembiayaan yang mudah dan terjangkau dapat membantu petani membeli teknologi modern dan meningkatkan kapasitas produksi mereka.

Di sisi lain, pabrik pengolah karet juga memerlukan dukungan finansial untuk meningkatkan fasilitas mereka, sehingga dapat memenuhi standar keberlanjutan internasional seperti yang ditetapkan dalam EUDR.

Sementara itu, organisasi non-profit dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) juga dapat berkontribusi dalam implementasi skema ini. Dengan memberikan pelatihan kepada petani tentang praktik agrikultur berkelanjutan, manajemen keuangan, dan strategi pemasaran, mereka membantu meningkatkan kesejahteraan petani sekaligus memperkuat daya saing sektor karet Indonesia di pasar global.

Berbagai studi mendukung pentingnya pendekatan kolaboratif dalam menangani tantangan sektor karet. YC Wulan, Budidarsono S, Joshi L (2006) menyoroti bahwa sistem agroforestri karet yang melibatkan kolaborasi lintas sektor dapat meningkatkan produktivitas sekaligus menjaga keberlanjutan lingkungan. Pelibatan aktif petani kecil dalam rantai pasok juga sangat penting untuk meningkatkan keberlanjutan ekonomi dan sosial.

Selain itu, laporan sebuah perusahaan teknologi dan startup pertanian, Koltiva (2024), mengenai dampak EUDR terhadap industri karet di Asia Tenggara juga menyoroti pentingnya memberdayakan petani kecil melalui pelatihan dan akses teknologi. Menurut laporan ini, pemberdayaan petani kecil bukan hanya langkah penting untuk memenuhi standar keberlanjutan internasional, tetapi juga strategi utama untuk meningkatkan kesejahteraan petani di tengah perubahan pasar global.

Dalam konteks industri karet Indonesia, pandangan ini relevan untuk menjadikan model inclusive closed loop sebagai jalan keluar dari problem yang dihadapi saat ini. Dengan melibatkan semua pihak dalam rantai pasok, model ini memastikan bahwa setiap tahap produksi dan distribusi karet memberikan manfaat maksimal, baik secara ekonomi maupun lingkungan.

Keberhasilan model inclusive closed loop juga dapat memberikan dampak positif pada citra Indonesia di pasar internasional. Dengan mengadopsi pendekatan ini, Indonesia dapat menunjukkan komitmennya terhadap keberlanjutan lingkungan dan keadilan sosial. Hal ini akan meningkatkan daya saing produk karet Indonesia di pasar global, terutama di kawasan Uni Eropa yang semakin memperhatikan aspek keberlanjutan dalam perdagangan.

Di sisi lain, pabrik pengolah karet yang menerapkan skema ini dapat mengurangi risiko fluktuasi harga bahan baku dan mendapatkan citra positif sebagai perusahaan yang bertanggung jawab sosial dan lingkungan. Dalam jangka panjang, hal ini tidak hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga memperkuat hubungan mereka dengan pasar internasional yang semakin peduli terhadap isu keberlanjutan.

Bagi petani karet, manfaat dari skema inclusive closed loop sangat signifikan. Selain mendapatkan harga jual yang lebih stabil dan adil, mereka juga memperoleh dukungan teknis yang membantu meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil panen. Dengan begitu, kesejahteraan petani dapat meningkat berkelanjutan.