Berharap Kebijakan DHE SDA yang Bijaksana

Hendy Endarwan Praktisi Industri Karet Mahasiswa Doktoral Perbanas Institute

REVISI kebijakan Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA) akan memberi dampak lumayan berat, khususnya bagi industri karet dan petani karet rakyat. Intinya, kebijakan yang akan segera diperbarui pemerintah dalam waktu dekat itu mengharuskan eksportir Indonesia, termasuk eksportir karet, untuk menempatkan 50% devisa hasil ekspor dalam sistem keuangan Indonesia—atau bank-bank yang berkantor di Indonesia– minimal selama satu tahun.
 
Terang saja, tujuan revisi DHE SDA adalah untuk memperkuat cadangan devisa negara. Jika cadangan devisa sudah lebih kuat, maka itu akan menjaga kestabilan nilai tukar rupiah dan memastikan perekonomian Indonesia tetap tangguh di tengah fluktuasi ekonomi global. Tadinya, retensi hasil ekspor itu berlaku sebesar 30 persen dan selama tiga bulan.
 
DHE SDA awalnya diatur melalui Peraturan Pemerintah No 1 Tahun 2019 tentang Devisa Hasil Ekspor dari Kegiatan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Selain itu, ada Peraturan Menteri Keuangan No. 98/PMK.04/2019 yang mengatur kewajiban eksportir melaporkan dan menyimpan devisa hasil ekspor tersebut. Pada 21 Januari 2025 silam, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan, draft revisi kebijakan DHE SDA terbaru sudah hampir siap dirilis.
 
Presiden Prabowo Subianto menekankan kebijakan ini penting untuk menjaga stabilitas ekonomi Indonesia, terutama di tengah ketidakpastian ekonomi global. Namun, Presiden juga mengingatkan, kebijakan ini harus diterapkan dengan bijaksana, agar tidak membebani sektor-sektor yang vital bagi ekonomi rakyat.
 
Presiden benar. Kebijakan ini harus diterapkan bijaksana. Soalnya, bagi pelaku usaha yang bergantung pada ekspor, termasuk pelaku usaha karet, penerapan DHE SDA memberikan banyak tantangan. Selama ini, Indonesia merupakan salah satu penghasil karet terbesar di dunia.
 
Banyak perusahaan yang memproduksi dan mengekspor karet remah, bahan baku berbagai produk seperti ban, sepatu, dan pelapis kendaraan. Kebijakan DHE SDA bisa membuat industri karet, terutama perusahaan kecil yang berfokus pada ekspor, menghadapi masalah cash flow yang lumayan serius.
 
Kebijakan DHE SDA membuat kelancaran arus kas perusahaan terganggu. Padahal, mereka sangat membutuhkan mata uang asing untuk membeli bahan baku atau membayar biaya operasional. Artinya, perusahaan tidak dapat segera menggunakan uang dari hasil ekspor untuk kebutuhan mereka. Ini menyulitkan pelaku usaha dalam menjalankan bisnis sehari-hari.
 
Selain itu, fluktuasi nilai tukar rupiah juga menjadi faktor yang perlu diwaspadai. Jika nilai rupiah menguat, maka nilai ekspor dalam mata uang asing akan berkurang. Akibatnya, pendapatan perusahaan akan berkurang pula. Perusahaan yang sudah terbiasa menghitung keuntungan berdasarkan nilai tukar yang stabil, tentu akan kesulitan menghadapi situasi ini.
 
Di sisi lain, volume eskpor industri karet Indonesia juga terus menurun. Pada 2014, ekspor mencapai sekitar 2.549.800 ton, namun pada tahun 2023, jumlahnya menurun menjadi sekitar 1.713.400 ton. Harga karet dunia juga mengalami fluktuasi tinggi dalam beberapa tahun terakhir.