Paylater: Risiko, Keberlanjutan dan GRC
Tulisan Populer 24 Januari 2025 Ananda Febriana Syafitri Read Time 5 minutes
Alan Yazid adalah expert di bidang Governance Risk Compliance (GRC) yang telah berkiprah sebagai praktisi industri keuangan selama lebih dari 25 tahun. Alan meraih gelar MBA dari Bowling Green State University, Ohio dan gelar B.Bus dari Charles Darwin University, Australia. Kini Alan tengah menempuh pendidikan doktoral bidang Manajemen Berkelanjutan di Perbanas Institute, Jakarta.
Layanan Buy Now Pay Later (BNPL), atau dikenal juga dengan istilah paylater, telah menjadi instrumen keuangan paling populer di Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan data PT Pefindo Biro Kredit (IdScore), pertumbuhan fasilitas BNPL mencapai 24,53% secara tahunan, pada November 2024. Nilai portofolio kreditnya mencapai Rp35,14 triliun. Tahun 2025 ini, paylater diduga akan tumbuh 30%.
Namun, di balik pertumbuhan ini, terdapat risiko signifikan dari paylater. Dampaknya juga tak main-main. Tidak hanya bisa mengganggu finansial personal, tapi juga berdampak pada stabilitas sistem keuangan dan perekonomian nasional. Bukan apa-apa, peningkatan penggunaan BNPL mengingatkan kita pada krisis keuangan yang pernah melanda Asia Timur. Kala itu belum ada paylater. Ekspansi kartu kredit yang tidak terkendali lah yang menjadi penyebab utamanya.
Sekitar dua dekade silam, Asia Timur gonjang-ganjing. Hong Kong di tahun 2002, Korea Selatan pada 2003, dan Taiwan di tahun 2006 mengalami krisis akibat gagal bayar kartu kredit. Korea Selatan mengalami dampak paling parah hingga mengganggu stabilitas sistem keuangan dan mengoreksi output nasional. Pengalaman ini menjadi pelajaran penting bagi Indonesia dalam mengelola pertumbuhan BNPL yang sangat pesat.
Menurut laporan Bank of Korea (2004), jumlah kartu kredit yang diterbitkan waktu itu meningkat drastis, dari 50 juta pada tahun 1999 menjadi lebih dari 100 juta pada tahun 2002. Total utang kartu kredit mencapai 14% dari PDB. Tak dinyana, tingkat kredit macet (NPL) melonjak hingga 10%. Perbankan Korea oleng seketika. Tak bisa tidak, pemerintah harus melakukan intervensi untuk menyelamatkan sistem keuangan.
Stijn Claessens (2010) menyebutkan bahwa krisis ini memperlihatkan pentingnya pengawasan ketat terhadap pertumbuhan kredit konsumen. Hal ini relevan bagi Indonesia, mengingat pertumbuhan BNPL yang pesat berpotensi menciptakan skenario serupa jika tidak dikelola dengan baik.
Hong Kong dan Taiwan yang juga mengalami krisis kartu kredit, mendapat dampaknya yang relatif lebih terkendali. Wong et al (2007), menjelaskan, penerapan kebijakan ketat oleh otoritas keuangan dan edukasi konsumen menjadi faktor kunci dalam menendalikan risiko. Pengalaman ini menunjukkan pentingnya peran regulasi dan literasi keuangan dalam mencegah krisis.
Dalam konteks BNPL di Indonesia, ada kabar baik bahwa tingkat NPL menurun dari 6,66% pada September 2023 menjadi 3,21% pada November 2024. Namun, jangan salah, risiko kredit macet tetap ada. Layanan BNPL sering kali menarik konsumen dengan kemudahan akses kredit, tetapi hal ini dapat mendorong perilaku konsumtif yang berlebihan, terutama di kalangan milenial dan Gen Z yang mendominasi pengguna BNPL.
Sebuah studi oleh Alcazar dan Bradford (2021) menunjukkan bahwa 40% pengguna BNPL adalah generasi milenial, yang sering kali kurang memahami risiko utang jangka panjang. Nah, dihadapkan pada pertumbuhan BNPL yang mencapai 24,53% secara tahunan, maka ini menunjukkan bahwa sektor tersebut sudah menjadi bagian penting dari ekonomi nasional. Jika tidak dikelola dengan baik, ekspansi BNPL dapat memicu ketidakstabilan ekonomi.
Kalau sampai peningkatan utang konsumen itu tidak terkendali, maka akibatkan akan mengurangi daya beli masyarakat dan memperburuk tekanan inflasi, terutama jika dikombinasikan dengan suku bunga yang tinggi. Selain itu, layanan BNPL sering kali diintegrasikan dengan platform fintech, yang mempercepat adopsi tetapi juga meningkatkan risiko keamanan data. Pencurian identitas dan peretasan data menjadi ancaman nyata, seperti yang diungkapkan oleh laporan Insider Intelligence (2020).
Tantangan Keberlanjutan dan GRC
Selain risiko-risiko tersebut, aspek keberlanjutan paylater juga menjadi tantangan tersendiri. Model bisnis BNPL sering kali bergantung pada volume transaksi yang tinggi dengan margin keuntungan yang tipis, sehingga rentan terhadap perubahan kondisi ekonomi. Ketergantungan pada pertumbuhan konsumsi, terutama dari generasi muda, menimbulkan risiko jika daya beli mereka menurun.
Tekanan regulasi yang meningkat, seperti kewajiban transparansi biaya dan batasan suku bunga, dapat memengaruhi profitabilitas penyedia BNPL dalam jangka panjang. Tanpa inovasi dan pengelolaan risiko yang tepat, keberlanjutan model bisnis ini dapat terancam, yang pada akhirnya dapat memengaruhi stabilitas ekonomi secara keseluruhan.
Untunglah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengambil langkah positif dengan mewajibkan pengguna BNPL memiliki pendapatan minimal Rp3 juta untuk mengurangi risiko gagal bayar. Namun, langkah ini perlu diperkuat dengan pengawasan yang lebih ketat terhadap penyedia BNPL. Otoritas Korea Selatan, setelah krisis kartu kredit, memperkenalkan aturan ketat, termasuk batasan tingkat bunga dan kewajiban pelaporan kredit konsumen. Menurut HB Kim dan CH Lee (2008), kebijakan ini berhasil menurunkan tingkat NPL secara signifikan dalam lima tahun.
Pendekatan GRC (Governance, Risk, Compliance) dapat menjadi landasan kokoh dalam mengelola dan mengatasi risiko yang timbul dari layanan BNPL. Prinsip governance memastikan bahwa semua yang terlibat dalam pengelolaan BNPL memiliki arah dan kebijakan yang jelas untuk mendukung tujuan sosial dan ekonomi tanpa mengabaikan dampak negatifnya. Hal ini melibatkan penerapan prinsip-prinsip TARIF (Transparansi, Akuntabilitas, Responsibilitas, Independensi, dan Fairness) dalam pengelolaan BNPL.
Langkah lainnya adalah risk management, atau manajemen risiko, untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko yang muncul. Penelitian Basel Committee on Banking Supervision (2021) menekankan pentingnya integrasi teknologi dalam manajemen risiko untuk mendeteksi pola kredit macet sejak dini. Teknologi deteksi dini, seperti pemantauan data pengguna dan algoritma keamanan, dapat diintegrasikan untuk mengontrol risiko yang lebih besar.
Penting pula compliance management system memastikan setiap aktivitas yang dilakukan dalam layanan BNPL mematuhi regulasi yang berlaku, termasuk perlindungan data pribadi dan standar keberlanjutan. Penyediaan audit rutin, inspeksi berkala, dan pelaporan kepada regulator menjadi bagian penting untuk memastikan bahwa BNPL memenuhi standar yang telah ditetapkan.
Literasi keuangan juga menjadi kunci mencegah perilaku konsumtif berlebihan. Kampanye edukasi oleh otoritas dan penyedia BNPL perlu diperkuat, seperti yang dilakukan Hong Kong setelah krisis kartu kredit. Menurut Wong et al. (2007), program literasi keuangan yang komprehensif berhasil meningkatkan pemahaman konsumen tentang risiko utang dan mengurangi tingkat kredit macet.
Pengalaman krisis kartu kredit di Asia Timur memang memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya regulasi, GRC, dan edukasi konsumen dalam mengelola pertumbuhan kredit konsumen. Dengan langkah-langkah yang tepat, Indonesia dapat memanfaatkan potensi BNPL secara optimal sambil menghindari risiko yang dapat mengancam perekonomian nasional.