Hilirisasi Industri Sapi untuk Menangkal Ketergantungan Impor

Oleh : Rendy Riyanto

Beberapa pekan menjelang Ramadan 2025, pemerintah memastikan pasokan daging sapi akan tercukupi dengan aman. Pertengahan Januari silam, rilis Kementerian Pertanian menegaskan jika neraca komoditas dalam negeri sudah dihitung dan kekurangan akan ditutupi dengan impor sapi bakalan dari luar negeri. Jadi, kendati kebutuhan untuk Ramadan hingga lebaran bisa tercukupi, Indonesia tampak semakin mengalami ketergantungan impor sapi.

Pemerintah sepertinya menyadari persoalan tersebut. Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman, sejak akhir 2024, menegaskan rencana hilirisasi komoditas daging sapi sebagai langkah strategis untuk memperkuat kemandirian pangan nasional. Rencana ini sejalan dengan visi Indonesia Emas 2045, yang menempatkan transformasi sektor peternakan sebagai salah satu pilar utama.

Hilirisasi komoditas daging sapi memiliki potensi besar untuk menciptakan nilai tambah bagi ekonomi domestik. Proses ini mencakup pengolahan sapi hidup menjadi produk bernilai lebih tinggi, seperti daging segar, daging olahan, hingga produk sampingan yang dapat diekspor.

Hilirisasi juga menawarkan solusi untuk memperkuat ketahanan pangan. Pengamat ekonomi pertanian, Bustanul Arifin (2020), menyebut bahwa hilirisasi komoditas daging sapi adalah kunci menciptakan ketahanan pangan yang tangguh dan berkelanjutan. Hilirisasi juga berpotensi menciptakan pasar baru bagi peternak lokal, mendorong pertumbuhan ekonomi pedesaan, dan meningkatkan daya saing industri peternakan nasional di pasar internasional.

Peningkatan aktivitas ekonomi di daerah pedesaan dapat terjadi melalui pengembangan peternakan lokal. Hilirisasi memang memiliki dampak positif terhadap pemerataan ekonomi. Presiden Prabowo Subianto berkali-kali menyatakan, hilirisasi di berbagai sektor dapat meningkatkan daya saing ekonomi daerah. Presiden menegaskan bahwa kerja sama antara pemerintah, pelaku usaha, dan peternak lokal sangat penting untuk mewujudkan cita-cita ini.

Melalui hilirisasi, Indonesia juga berpeluang mengatasi masalah ketimpangan ekonomi dengan menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Dengan memanfaatkan peluang ini, Indonesia dapat menjadikan sektor peternakan sebagai salah satu pilar utama dalam mendukung pembangunan ekonomi yang inklusif.

Kebutuhan akan hilirisasi juga diperkuat oleh dinamika global.  Ketegangan geopolitik seperti konflik Rusia-Ukraina telah menciptakan ketidakpastian pasar dan memengaruhi harga komoditas global, termasuk sapi hidup. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya kemandirian dalam sektor pangan untuk melindungi ekonomi domestik dari guncangan eksternal.

Namun, ketergantungan pada impor sapi hidup itu tadi yang masih menjadi hambatan utama. Data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2024, menunjukkan, Indonesia masih mengimpor jutaan ekor sapi hidup setiap tahun. Pada Januari-Agustus 2024, nilai impor sapi hidup mencapai US$340,23 juta, naik 40,22% dari capaian Januari-Agustus 2023. Jika dihitung dari Agustus 2023 hingga Agustus 2024, nilai impor sapi hidup Indonesia melesat 44,09%.

Ketergantungan impor yang kian parah ini menjadikan harga daging rentan terhadap fluktuasi harga global dan kebijakan negara eksportir.  Tantangan kian signifikan mengingat permintaan konsumsi daging sapi terus meningkat seiring pertumbuhan populasi dan perubahan pola konsumsi masyarakat. Kalau sudah begini, boro-boro memikirkan hilirisasi, untuk sekadar memenuhi permintaan saja sudah merepotkan.

Pemerintah memang telah menargetkan pengurangan ketergantungan impor melalui peningkatan produktivitas sapi lokal. Pemerintah juga mendorong pembangunan infrastruktur pendukung seperti rumah potong hewan modern dan fasilitas penyimpanan dingin. Tujuannya untuk memastikan rantai pasok daging sapi tetap efisien dan berkualitas. Masalahnya, kapasitas pengolahan domestik sangat tidak memadai. Keterbatasan teknologi dan infrastruktur, terutama di daerah, menjadi hambatan yang kerap ditemui.

Kebijakan fiskal, seperti insentif pajak bagi pelaku industri lokal dan subsidi bagi peternak, yang sudah diberikan pemerintah mestinya dapat memberi dorongan signifikan bagi transformasi hilirisasi ini. Menteri Keuangan Sri Mulyani, akhir 2024 lalu, menegaskan pentingnya stabilitas ekonomi untuk menarik investasi di sektor peternakan.

Namun, kebijakan fiskal perlu diarahkan terus untuk mendukung program pembibitan unggul, mencakup pembiayaan untuk teknologi modern yang memungkinkan efisiensi di semua tahapan hilirisasi.

Dukungan pada transisi menuju ekonomi hijau juga menjadi bagian integral dari hilirisasi daging sapi. Proses ini harus dilakukan dengan mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan, termasuk pengelolaan limbah peternakan yang ramah lingkungan. Pengembangan teknologi berbasis keberlanjutan akan menjadi prioritas dalam program hilirisasi yang sedang dirancang oleh pemerintah.