Arus Akbar: Reformasi Hukum Butuh Terobosan

[17 Oktober 2005]
EDISI : 5/TH.I/OCTOBER 2005
*Arus Akbar Silondae, S.H., LL.M

*Arus Akbar Silondae,S.H., LLM adalah pengamat masalah hukum dari STIE Perbanas. Tulisan ini merupakan ringkasan dari hasil wawancara Paradigma Online dengan Arus Akbar Silondae.

Salah satu program yang dicanangkan pemerintahan baru di bawah pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla adalah meneruskan reformasi hukum. Tapi mengapa reformasi hukum di negeri ini berjalan mandeg?

Salah satu prioritas pasangan SBY-JK adalah menciptakan sebuah pemerintahan baru yang bersih dan berwibawa. Oleh karena itu pada enam bulan pertama, Presiden begitu gencar mendorong upaya pemberantas korupsi. Ketika melantik Jaksa Agung pun Presiden menitip pesan untuk meningkatkan kredibilitas hukum. Masyarakat dan pencari keadilan pun berharap agar reformasi hukum akan terjadi di bawah pemerintahan yang baru ini.

Selama enam bulan pertama, terlihat ada gebrakan-gebrakan yang dilakukan pemerintah baru, antara lain menangkap dan menahan tersangka kasus korupsi di berbagai perusahaan BUMN maupun pejabat-pejabat pemerintah. Namun, sayangnya upaya tersebut tampak tidak konsisten. Ada kesenjangan antara rencana dan tekad yang disampaikan presiden dan praktek di lapangan. Aparat atau penegak hukum terlihat kurang serius menerjemahkan instruksi Presiden tersebut. Praktek-praktek lama seperti ‘mafia peradilan’ tampak masih terjadi.

Kalau kita lihat dari titik sekarang, bisa diambil kesimpulan, gebrakan-gebrakan tersebut hanya manuver-manuver politik saja untuk menarik simpati, karena ternyata aparat hukum sekarang tidak serius mem-follow-up instruksi Presiden tersebut. Di tubuh kejaksaan sendiri, misalnya, sudah menyiapkan struktur organisasi tetapi belum terlihat ada langkah-langkah konkrit. Belum terjadi perubahan paradigma dalam memberantas korupsi.

Penegakan hukum sekarang lebih banyak dilakukan oleh Komisi Pemberantas Korupsi (KPK). Tapi KPK bukan institusi pemerintah. KPK adalah sebuah lembaga independen. Oleh karena itu agar ada reformasi hukum berjalan, harus ada full commitment dari SBY dan tingkat menteri untuk mengimplementasikan komitmen tersebut. Jangan sampai upaya reformasi hukum ini hanya sekadar slogan saja.

Harus diakui terjadi kemacetan di kepolisian dan kejaksaan dalam melakukan perubahan-perubahan Kalau di luar pemerintahan upaya memberantas korupsi masih berjalan, seperti apa yang sudah dan sedang dilakukan oleh KPK. Mereka punya pola baru dalam memberantas korupsi. Cara-cara konvensional seperti yang dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan sepertinya tidak jalan. Tindakan konvensional itu tidak mempan karena korupsi itu sudah terorganisir dan mendarahdaging sehingga sulit diberantas. Sementara, sifat kejaksaan dan kepolisian ini hanya menunggu. Kalau menunggu, data yang didapat sangat terbatas. Karena itu, kepolisian dan kejaksaan harus proaktif mencari indikasi-indikasi pelanggaran dan penyelewangan hukum.

Masyarakat tentu saja punya harapan besar terhadap kepolisian dan kejaksaan agar ada perubahan pola kerja dan paradigma kerja baru. Terungkapnya kasus-kasus beberapa Jenderal yang punya rekening miliaran rupiah di berbagai bank mengindikasikan banyak hal yang masih harus diubah dalam tubuh Kepolisian sendiri. Untuk melakukan perubahan, Kepolisian dan Kejaksaan harus berani melakukan perubahan secara internal. Pertanyaannya apakah Kapolri dan Jaksa Agung punya kemampuan untuk membenahi internal kedua lembaga itu?

Masyarakat sendiri dapat berperan untuk mendorong terjadinya reformasi di tubuh Polri dan Kejaksaan. Dorongan itu dibutuhkan agar lembaga-lembaga penegak hukum tersebut dapat menunjukkan kinerja yang positif, termasuk dalam hal memerangi kasus korupsi. Memang tidak gampang merubah kultur yang sudah mendarah daging. Ini merupakan tantangan berat bagi Indonesia saat ini dalam memberantas korupsi. Karena masyarakat harus aktif memantau melalui komisi-komisi atau lembaga-lembaga pemantau. Media juga dapat mengambil peran yang sama. Yang lebih penting, Presiden dan Wapres sebagai Kepala Pemerintahan perlu terus mendorong upaya-upaya melakukan pembenahan pada sektor hukum ini.

Terkuaknya dugaan kasus suap-menyuap di tubuh Mahkamah Agung baru-baru ini seolah mengkonfirmasikan bahwa jalan untuk melakukan reformasi hukum di negeri ini masih panjang dan kian terjal. Kasus suap-menyuap di lembaga-lembaga peradilan sebetulnya bukan rahasia lagi. Cuma terlibatnya nama Bagir Manan sebagai Ketua MA sedikit mengejutkan banyak pihak. Mungkin kalau kasus ini terjadi pada awal masuknya Bagir Manan, mungkin akan sangat mengejutkan. Tapi karena sudah dua tahun lebih mejabat sebagai Ketua MA, mungkin saja ia sudah terkontaminasi. Adalah haknya Bagir Manan untuk membela diri dari segala tuduhan itu. Tetapi alangkah bagus kalau Ketua MA tersebut membersihkan dirinya dengan mengikuti saja proses hukum. Dengan proses hukum tersebut, persoalan akan menjadi lebih terang, modusnya seperti apa, dan siapa saja yang terlibat.

Di kalangan praktisi hukum, memang sudah tahu ada semacam mafia peradilan. Ada calo-calo yang memperjual-belikan kasus atau proses perkara. Kini saatnya Ketua MA Bagir Manan membuktikan apa yang selalu didengung-dengungkannya yakni memberantas mafia peradilan. Dia harus bisa membuktikan bahwa di tak terlibat dalam kasus suap-menyuap tersebut melalui proses hukum. Dengan demikian masyarakat akan dapat melihat apa yang sebenarnya terjadi.

Perlu Tekanan Publik

Kini sering muncul pertanyaan ke permukaan, apa kita masih punya harapan akan terjadi reformasi hukum di negeri ini. Jawabannya, masih ada harapan. Hanya, hal ini tak bisa terjadi dalam waktu singkat. Persoalan terkait masalah hukum ini sudah mendarahdaging. Lembaga peradilan tampaknya belum mampu melakukan perubahan. Oleh karena itu perlu ada tekanan luar biasa dari masyarakat, DPR, Presiden dan dari semua pihak untuk terus mendorong reformasi hukum, termasuk reformasi dalam lembaga-lembaga peradilan itu sendiri. Masyarakat juga, seperti pengacara, harus membatasi diri. Jangan melakukan peluang bagi penegak hukum untuk melakukan penyimpangan.

Sebetulnya Indonesia sudah punya produk-produk hukum yang memadai untuk melakukan reformasi hukum. Pemerintah bersama DPR sudah melahirkan begitu banyak Undang-Undang terkait reformasi hukum ini. Untuk soal ini, Indonesia memang termasuk hebat. Tinggal sekarang bagaimana manusianya melakukan perubahan itu. Persoalan kita bukan masalah perangkat hukum yang tak memadai, tapi masalah moral para penegak maupun masyarakat yang terlibat dalam proses pencarian keadilan itu.

Persoalan hukum di negeri ini harus menjadi salah satu prioritas pemerintah. Hal ini penting mengingat masalah hukum, termasuk penegakan hukum (law enforcement), menjadi salah satu faktor utama dalam menumbuhsuburkan iklim usaha dan investasi. Termasuk dalam upaya pemerintah untuk menarik investasi asing. Persoalannya, memang ada semacam budaya di masyarakat Indonesia yang mengabaikan suatu kontrak bisnis. Padahal dalam Common Law, sebuah kontrak bisnis adalah UU.

Sebuah kontrak yang dibuat pemerintah saja, misalnya, bisa saja dianulir oleh pemerintah sendiri karena tekanan-tekanan politik. Kita ambil contoh masalah Karaha Bodas. Karena situasi politik, Indonesia tak memenuhi kontrak tersebut. Akibatnya, citra Indonesia di luar negeri menjadi kurang bagus. Ini yang membuat tak adanya kepastian hukum bagi si investor. Oleh karena itu pemerintah perlu terus melakukan pendidikan pengenalan hukum bisnis bagi aparat penegak hukum, serta kepada anggota DPR dan tokoh-tokoh masyarakat.

Lemahnya law enforcement, di samping masalah peradilan, telah menjadi salah satu penyebab rendahnya investasi di negeri ini. Ada suatu penelitian yang dilakukan oleh sebuah universitas di AS baru-baru ini yang menunjukkan lemahnya reformasi hukum di Indonesia. Menurut penelitan tersebut, lemahnya law enforcement disebabkan oleh pertama, hakim-hakim yang dependent. Artinya dalam memutus perkara mereka tak independen. Mereka dependent terhadap pengacara, pemerintah atau hakim yang lebih tinggi. Kedua, lack of skill atau kurang adanya spesialisasi dalam bidang bisnis. Ketiga, putusan pengadilan yang unpredictable. Putusan pengadilan sebetulnya bisa diduga dari apa yang terjadi, tapi karena posisi hakim dependent maka putusan bisa menjadi lain. Ini yang menggemaskan para investor.

Kini masyarakat menaruh harapan pada pundak SBY-JK untuk mendorong perubahan di sektor hukum ini. Salah satu caranya adalah dengan mengaktifkan dan memfungsikan Komisi Kejaksaan dan Komisi Kepolisian. Kedua komisi itu sudah terbentuk, karena itu pemerintah, masyarakat dan lembaga-lembaga peradilan sendiri harus mendukung langkah-langkah yang diambil oleh komisi-komisi itu.

** Artikel Ini diambil dari : www.paradigma.or.id