Perbankan Indonesia: Berkelanjutan Biar Bertahan

Oleh: Eddy Rusman
Praktisi Perbankan BUMN, Mahasiswa Doktoral Perbanas Institute

Industri perbankan di tanah air harus rela berhadapan terus dengan tantangan. Masuknya era digitalisasi dan kewajiban menjalankan prinsip keberlanjutan sesuai POJK Nomor 51/POJK.03/2017 memaksa bank untuk tidak hanya beradaptasi terhadap perubahan teknologi dan persaingan yang kian ketat, pun memastikan operasional mereka selaras dengan prinsip-prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola yang baik (ESG).

Di sisi lain, bank harus tetap kompetitif dan menghasilkan laba dalam kondisi ekonomi yang sangat tidak menentu. Bank Indonesia (BI), 20 Januari 2025,  memperkirakan penyaluran kredit baru pada kuartal I/2025 akan lebih rendah dibandingkan kuartal IV/2024. Proyeksi itu tecermin dari perhitungan Saldo Bersih Tertimbang (SBT) yang hanya 82,3% pada kuartal \pertama tahun ini, berbanding SBT 97,9% pada kuartal empat 2024.

Suku bunga kredit perbankan juga bisa naik lagi meski suku bunga acuan di Amerika (The Fed Fund Rate)–yang kini 4,50%–4,75%–mungkin akan diturunkan. Inflasi Amerika sudah menyentuh 2,60%. Masalahnya, Presiden Donald Trump berniat akan langsung memberlakukan proteksi impor untuk barang asal Kanada, Meksiko, serta terutama China, bahkan juga anggota BRICS. Belum lama, Indonesia malah menjadi anggota BRICS.

Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri (2024) menegaskan, kondisi ekonomi global yang penuh ketidakpastian, ditambah dengan dampak dari kebijakan proteksionisme, akan terus mempengaruhi kinerja sektor perbankan. Jadi, bank harus sangat berhati-hati dalam mengelola risiko eksternal yang dapat mempengaruhi daya saing mereka.

Sementara itu, deposito perorangan juga turun selama tiga bulan berturut-turut, hingga Oktober 2024, menjadi hanya Rp1.437,3 triliun. Turun 3,5%. Aturan hapus tagih kredit macet UMKM di bank BUMN, sesuai PP Nomor 47 Tahun 2024, bisa saja memberatkan kondisi keuangan bank.

Pertumbuhan kredit perbankan yang sebesar 10,79% secara tahunan (year-on-year.yoy), pada November 2024, juga melambat dibandingkan bulan sebelumnya yang 10,92%. Di sisi lain, penghimpunan DPK hanya naik 6,3% yoy pada November 2024. Tantangan likuiditas pun mengemuka, terlebih dengan adanya kebijakan Bank Indonesia yang meningkatkan target Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), yang dapat mengalihkan dana nasabah dari perbankan ke instrumen tersebut.

Tantangan lainnya datang dari dominasi bank asing yang terus meningkat. Pada September 2024, bank asing mencatatkan pertumbuhan laba signifikan, sebesar 30,93% yoy, meski porsinya masih kecil dibandingkan total laba industri perbankan nasional. Ini mencerminkan kemampuan mereka dalam memanfaatkan teknologi canggih, efisiensi operasional, serta layanan lebih personal kepada nasabah. Makanya, bank lokal terdorong mempercepat digitalisasi, meningkatkan kualitas layanan, dan memperkuat daya saing mereka di pasar bank digital.

Ketua OJK Mahendra Siregar (2024) menekankan, industri perbankan yang mampu bertransformasi secara digital akan dapat mengatasi tantangan globalisasi yang semakin tajam. Teknologi menjadi kunci utama dalam memperkuat daya saing perbankan domestik.

Tapi digitalisasi tidak murah. Bank Mandiri, BRI, dan BNI mengalokasikan sekitar Rp 3 triliun-Rp 4 triliun setiap tahun untuk capex IT. Bank-bank lain belum tentu mampu. Itu saja sudah membuat kompetisi amat sengit. Mereka berlomba-lomba menawarkan suku bunga menarik dan insentif kepada nasabah untuk menarik lebih banyak pelanggan sekaligus merespons likuiditas yang ketat. Dalam jangka panjang, model bisnis yang bergantung pada penawaran suku bunga tinggi dapat menggerus profitabilitas, terutama jika tidak diiringi dengan inovasi produk yang relevan dengan kebutuhan nasabah.

Siap Tak Siap Berkelanjutan
Di tengah berbagai dinamika tersebut, keberlanjutan juga menjadi isu yang tak bisa diabaikan. Sejak dicanangkan OJK, melalui POJK Nomor 51/POJK.03/2017, perbankan nasional didorong mengintegrasikan prinsip ESG ke dalam operasional. Pelaksanaan prinsip keberlanjutan bukan hanya sekadar tuntutan regulasi, tetapi juga kebutuhan strategis untuk memastikan keberlanjutan bisnis dalam jangka panjang. Ekonom Iman Sugema (2024), mengungkapkan, bank-bank di Indonesia harus semakin adaptif. Prinsip keberlanjutan menjadi faktor kunci untuk memastikan daya saing di pasar yang semakin global.

Bank Mandiri, BCA, dan BNI telah menyalurkan kredit keberlanjutan masing-masing sebesar Rp285 triliun, Rp214 triliun, dan Rp187,6 triliun hingga September 2024. Kredit tersebut dialokasikan untuk proyek-proyek hijau seperti energi terbarukan, infrastruktur ramah lingkungan, dan UMKM berkelanjutan.

Clarisse Simonek, pakar finansial dari London Institute of Banking and Finance (LIBF), menyatakan, sustainable banking bukan hanya soal kepatuhan terhadap regulasi, tetapi juga cara untuk menciptakan stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan. Jadi, perbankan tidak bisa hanya melihat keberlanjutan sebagai kewajiban, tetapi juga peluang untuk meningkatkan reputasi dan menarik lebih banyak investasi.

Data dari laporan ESG 2024 Morgan Stanley menunjukkan bahwa aset yang dikelola dalam skema investasi berkelanjutan meningkat sebesar 40% dibandingkan tahun sebelumnya. Tren ini mencerminkan preferensi investor global terhadap perusahaan dengan rekam jejak keberlanjutan yang baik.

Namun, implementasi prinsip keberlanjutan bukannya tanpa tantangan. Biaya yang tinggi untuk investasi dalam teknologi baru, pelatihan karyawan, dan penyesuaian kebijakan menjadi hambatan utama. Selain itu, greenwashing, atau praktik memberikan kesan yang menyesatkan tentang komitmen keberlanjutan, juga menjadi risiko serius. Dalam konteks ini, transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci untuk menjaga kepercayaan publik.

Tantangan lainnya adalah mengelola risiko iklim yang semakin relevan dalam operasi perbankan. Bencana alam seperti banjir dan kekeringan dapat memengaruhi kemampuan debitur untuk membayar pinjaman, yang pada akhirnya berpotensi meningkatkan rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL).

Untuk menghadapi risiko ini, beberapa bank di Indonesia telah mengadopsi Panduan Climate Risk Management & Scenario Analysis Perbankan (CRMS) yang disusun oleh OJK. Panduan ini membantu bank dalam menilai dampak perubahan iklim terhadap portofolio mereka, sekaligus merumuskan strategi mitigasi yang efektif.

Sangat menantang dan penuh dinamika, memang, perjalanan menuju perbankan berkelanjutan ini. Namun, sejumlah riset menyatakan, manfaat jangka panjangnya nanti akan jauh lebih besar. Bank yang berhasil mengintegrasikan prinsip ESG secara konsisten tidak hanya akan menarik lebih banyak investor, tetapi juga memperkuat hubungan dengan nasabah dan masyarakat. Di sisi lain, transformasi digital yang diiringi dengan inovasi produk dan layanan menjadi kunci untuk memenangkan persaingan di era digital.

Pada akhirnya, masa depan perbankan Indonesia sangat bergantung pada kemampuan pelakunya untuk beradaptasi dan berinovasi. Kombinasi antara strategi keberlanjutan yang solid, pemanfaatan teknologi digital, dan pengelolaan risiko yang efektif akan menjadi faktor penentu keberhasilan industri ini dalam menghadapi era baru. Bagaimanapun, perbankan harus tetap menjadi motor penggerak ekonomi nasional, sekaligus berperan dalam menciptakan masa depan yang lebih berkelanjutan dan inklusif bagi seluruh masyarakat Indonesia.